Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) menanyai Ketua DPR Setya Novanto mengenai penggeledahan yang dilakukan tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di rumahnya sampai kronologis kecelakaan lalu lintas di kawasan Permata Hijau, Jakarta Selatan, saat melakukan pemeriksaan berkenaan dengan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Setya Novanto.

"Tadi dijelaskan mulai dari penggeledahan di rumahnya dan saat terjadi tabrakan. Kemudian dirawat di rumah sakit sampai yang tugas di DPR," kata Wakil Ketua MKD dari Fraksi Partai Hanura Syarifudin Suding, yang pada Kamis mendatangi gedung KPK di Jakarta untuk memeriksa Setya Novanto terkait pelanggaran kode etik.

Namun, menurut dia, MKD tidak mengkonfirmasi keterangan mengenai kasus korupsi KTP elektronik yang menjerat Ketua DPR Setya Novanto.

"Kami kan tidak menyangkut masalah pokok perkara. Kami hanya soal kode etik," kata Suding.

Ia menambahkan, "Hasil yang tadi dari Setya Novanto nanti kita akan konfirmasi. Termasuk kepada pihak Kesetjenan dan kepada pihak pimpinan DPR yang lain."

Anggota MKD Maman Imanulhaq mengatakan dalam pemeriksaan terhadap Setya Novanto juga mencakup masalah pemberhentiannya sebagai Ketua DPR RI.

"Kami mengacu pada Undang Undang MD3 tentang pemberhentian Ketua DPR. Lalu apakah betul ada tugas-tugas yang diabaikan, nah itu butuh konfirmasi," kata Maman.

Masalah kemungkinan pengunduran diri Setya Novanto, menurut dia, juga dibicarakan dalam pemeriksaan itu.

"Ya kemungkinan-kemungkinan itu ada. Makanya kami konfirmasi ke beberapa pihak nanti sesuai dengan keterangan Beliau," kata politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu.

Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Indonesia (HMPI) melaporkan Setya Novanto ke MKD karena menduga dia telah melanggar kode etik dan sumpah jabatan.

Ketua Umum HMPI Andi Fajar Asti mengatakan HMPI melaporkan Setya Novanto karena menduga dia melanggar kode etik dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) setelah menjadi tersangka kasus dugaan korupsi dalam proyek pengadaan KTP-elektronik.

Menurut Andi Fajar Asti, dalam catatan HMPI ada delapan pelanggaran yang dilakukan Setya Novanto yang meliputi tiga pelanggaran terhadap Undang-Undang MD3 serta lima pelanggaran kode etik.

KPK pertama kali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka kasus korupsi KTP elektronik pada 17 Juli 2017. Dia mengajukan permohonan praperadilan mengenai penetapannya sebagai tersangka, dan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Cepi Iskandar pada 29 September 2017 mengabulkan gugatannya, menyatakan bahwa penetapannya sebagai tersangka tidak sesuai prosedur.

KPK kembali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka perkara korupsi itu pada 10 November dan dia kembali mengajukan permohonan praperadilan berkenaan dengan penetapannya sebagai tersangka.



Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017