Jakarta (ANTARA News- Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) mengharapkan pemerintah khususnya Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi agar perguruan tinggi negeri (PTN) tidak jor-joran menerima mahasiswa baru dengan jumlah melebihi kewajaran.

Jika PTN melakukan hal itu maka karena langkah itu bukan hanya mematikan perguruan tinggi swasta, juga mengurangi mutu anak didik pada PTN itu sendiri.

Saat ini di perguruan tinggi negeri masih banyak ditemukan jumlah mahasiswa yang belajar dengan jumlah dosen, kurang ideal.

"Idealnya, satu kelas maksimal diisi 40 orang, namun pada kenyataanya, di PTN masih ditemukan jumlahnya lebih dari itu," kata Ketua Umum APPTHI, Dr. Laksanto Utomo, di sela-sela seminar nasonal, di Universitas Surakata, Solo Jawa Tengah, Senin.

Terkait dengan itu, APPTHI akan segera mengirim surat kepada Kemenristek Dikti, untuk membuat aturan dan pengawasan yang lebih jelas sehingga tidak ada perguruan tinggi negeri yang menerima mahasiswa barunya melebihi kewajaran (over capasity), kata Laksanto.

Seminar nasional yang diselenggarakan di Surakarta tersebut, mengambil tema "Tindak Pidana Korporasi dan Pertanggungjawaban Pidana dalam Perspektif Penegak Hukum," menampilkan Hakim Agung, Prof. Dr. Gayus Lumbuun, Ketua Asosiasi Penyelenggara Program Studi Ilmu Hukum Indonesia (APSIHI) Dr. Jawade Hafit dan ahli hukum Tata Negara dari Universitas Assafiiyah Jakarta, Prof. Dr. Zainal Arifin Hoesein, SH.

Menurut Laksanto, gagasan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) tidak jor-joran merekrut mahasiswa baru melebihi dari kewajaran, sesungguhnya sudah disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum lama ini.

" Perguruan tinggi negeri harus lebih berkonsentrasi ke `world class univesity`, sementara untuk PTS, segera mengisi dengan manaikkan kualitas SDM dan kualitas PTS itu sendiri," kata Laksanto mengutip pernyataan Jokowi.

Dengan demikian, gagasan APPTHI untuk meningkatkan kualitas anak didik dan tidak mematikan perguruan tinggi swasta, sejalan dengan keinginan presiden Joko Widodo, kata Laksanto Utomo yang juga dosen di Universitas Pancasila itu.

Ditempat sama, Dr. Jawade Hafit, menambahkan, APIHI dan APPSIHI saat ini beranggotakan 140 perguran tinggi sewasta, dan mereka menyepakati dipakainya Kurikulum Program Studi Ilmu Hukum Indonesia bebasis KKNI berdasar UU No 12 th 2012.

"Penyusunan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) adalah kerangka penjenjangan kualifikasi sumber daya manusia Indonesia yang menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan sektor pendidikan dengan sektor pelatihan dan pengalaman kerja dalam suatu skema pengakuan kemampuan kerja yang disesuaikan dengan struktur di

KKNI sesuai dengan UU No.8 Tahun 2012," katanya.

Kurikulum berbasis KKNI tidak mewajibkan semua anak didik mempunyai ijasah formal S1, S2 dan S3. Tetapi tanpa sekolah formal seseorang dapat dihargai dan disetarakan dengan sekolah formal asal orang bersangkutan mempunyai keahlian yang diakui oleh lembaga Sertifikasi Nasional, katanya.

"Sistem KKNI ini sebagai upaya untuk membuat standar yang sama dengan negara-negara lain, khususnya ditingkat ASEAN. Setiap orang yang ingin bekerja diharuskan mempunyai sertifikat profesi guna mengukur kemampuan dari seseorang," katanya.

Pada kesempatan itu, Prof. Gayus Lumbuun juga menyampaikan, studi tentang tindak pidadana korupsi terhadap sebuah korporasi belum banyak dilakukan oleh perguruan tinggi hukum, baik negeri maupun swasta. Dalam literatur ilmu hukum yang lama, kejahatan korporasi itu masuk ranah hukum perdata, tetapi dalam perkembangannya, perusahaan juga dapat dikenakan sanksi pidana.

"Inilah yang saat ini sering terjadi kasus yang melibatkan sebuah korporasi apakah kasus KTP elektronik, impor daging, sapi, atau kasus perdagangan lainnya melibatkan subyek sebuah korporasi," kata Gayus.

Pewarta: Theo Yusuf
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017