Jakarta (ANTARA News) - Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah memvonis warga negara Australia Peter W Smith (48) dengan hukuman tujuh tahun penjara, lebih ringan tiga tahun dari vonis sebelumnya yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Namun, dalam putusan banding terhadap terdakwa pelaku pencabulan terhadap anak-anak (pedofilia) ini, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mewajibkan membayarkan Peter W Smith membayar denda Rp150 juta, lebih besar dari denda yang dikenakan dalam putusan PN Jakarta Selatan, kata Untung, salah seorang staf Panitera Muda Pidana PN Jakarta Selatan, Selasa. Untung mengatakan, putusan baru itu diterima PN Jaksel pada Senin, 18 Juni yang lalu dan pihaknya dalam proses pemberitahuan pada pihak-pihak berperkara yaitu jaksa dan kuasa hukum yang mewakili terdakwa. Sebagaimana diberitakan sebelumnya, pada 26 Februari 2007, Peter Smith dijatuhi pidana 10 tahun penjara berikut denda Rp75 juta karena dinilai terbukti bersalah melakukan serangkaian perbuatan berbarengan pencabulan terhadap anak sebagaimana dakwaan tunggal pasal 82 UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak jo pasal 65 ayat 1 KUHPidana. Unsur-unsur dari pasal 82 UU Perlindungan Anak yang dikenakan terhadap Peter adalah setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun dan paling singkat tiga tahun dan denda paling banyak Rp300 juta dan paling sedikit Rp60 juta. Putusan yang dijatuhkan Majelis Hakim dengan Ketua Soedarmadji kepada Peter itu lebih berat dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum Bayu Pramesti yang meminta terdakwa divonis penjara 10 tahun dan denda Rp60 juta. Pada 2 Maret 2007, Peter Smith yang tercatat mendekam di LP Cipinang, Jakarta Timur itu menyatakan banding atas vonis tersebut melalui kuasa hukumnya. Dihubungi secara terpisah, jaksa yang menangani perkara terdakwa Peter, Bayu Pramesti mengaku pihaknya belum mendapat pemberitahuan resmi mengenai putusan tersebut. "Pastinya kami akan mempelajari salinan putusan pengadilan tinggi, dan akan mengevaluasi apakah terjadi pertimbangan atau penerapan hukum yang salah dalam putusan itu. Kalau memang ada yang salah, ya kami bisa mengajukan kasasi," kata Bayu.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007