Jakarta (ANTARA News) - Sekretaris Komisi Hukum Nasional yang juga terlibat dalam tim revisi KUHP, Mardjono Reksodiputro mengatakan, draf revisi KUHP memperlunak ketentuan hukuman mati dalam kasus pidana setelah muncul perdebatan tentang penghapusan hukuman tersebut. "RUU KUHP tetap mempertahankan hukuman mati dengan sejumlah catatan," katanya di sela-sela sidang uji materi UU Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu. Menurut Mardjono, revisi KUHP menyatakan hukuman mati sebagai hukuman khusus dan pilihan terakhir yang akan dijatuhkan dengan sejumlah pertimbangan. Pertimbangan yang dimaksud antara lain adalah hukuman mati harus dijatuhkan atas dasar pertimbangan matang dari hakim. Selain itu, putusan hukuman mati suatu perkara harus merupakan putusan bulat semua majelis hakim yang menangani perkara tersebut. Dalam revisi juga diatur ketentuan yang menyatakan hukuman mati akan disertai dengan hukuman percobaan. Ketentuan itu menyebutkan seseorang akan dieksekusi mati jika yang bersangkutan tidak berlaku baik selama masa percobaan sepuluh tahun di dalam penjara. "Kalau bisa melewati masa percobaan itu akan diubah menjadi pidana seumur hidup," katanya. Mardjono menambahkan draf revisi juga menyatakan hukuman mati tidak berlaku lagi jika eksekusi mati tidak dilakukan dalam jangka waktu sepuluh tahun setelah dijatuhkannya vonis mati oleh pengadilan. "Jika lebih dari sepuluh tahun, maka ada ketentuan kadaluarsa pidana mati," katanya. Menurut Mardjono, ketentuan kadaluarsa itu dicantumkan dalam revisi KUHP sebagai evaluasi terhadap banyaknya eksekusi mati yang tertunda hingga puluhan tahun. Penundaan eksekusi itu akan berdampak buruk terhadap terpidana dan penegakan hukum di Indonesia. Wacana penghapusan hukuman mati muncul dalam uji materi UU Narkotika, terutama ketentuan dalam pasal 80, 81, 82 UU tersebut yang mengatur hukuman mati bagi terdakwa kasus narkotika. Pengujian UU Narkotika dimohonkan oleh tiga terpidana mati kasus Bali Nine warga negara Australia, Andrew Chan, Myuran Sukumaran, dan Scott Anthony Rush. Sedangkan dua pemohon lain adalah warga negara Indonesia, yaitu Edith Yunita Sianturi yang terlibat kasus kepemilikan narkotika seberat 1.000 gram dan Rani Andriani yang terlibat kasus kepemilikan narkoba seberat 3.500 gram.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007