Jakarta (ANTARA News) - Hasil kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia memperkirakan, kerugian secara ekonomi setelah lima tahun berlakunya PP 71/2014 jo PP 53/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (PP Gambut) mencapai 5,72 miliar dolar AS atau sekitar Rp76,04 triliun.

Dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu disebutkan, kerugian itu berasal dari berkurangnya PDB nasional, pendapatan masyarakat, dan berkurangnya tenaga kerja.

Peneliti Senior LPEM Universitas Indonesia Riyanto mengatakan, PP Gambut beserta peraturan menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan lainnya akan berdampak pada berkurangnya luas hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan terutama kelapa sawit di Indonesia.

Dampak berikutnya adalah berkurangnya bahan baku bagi industri pulp dan kertas serta industri pengolahan kelapa sawit, sehingga impor bahan baku tidak terhindarkan dan akhirnya berujung terhadap anjloknya daya saing industri.

"PP ini akan berdampak terhadap ekonomi secara makro, menurunkan rating investasi, dan memberikan dampak secara sosial, yaitu PHK yang akan meningkatkan pengangguran," kata Riyanto.

Berdasarkan kajian LPEM, kerugian akibat PP gambut selama lima tahun ke depan berasal dari penurunan produksi bahan baku sebesar 16,8 juta meter kubik akibat berkurangnya 58,5 persen areal HTI seluas 702,56 ribu hektar (ha) dengan nilai ekonomi Rp48,5 triliun.

Sedangkan output ke Provinsi Riau akan berkurang Rp29,17 triliun per tahun, selain itu PDRB Riau akan melorot Rp16,15 triliun per tahun.

Pendapatan masyarakat akan berkurang Rp4,9 triliun per tahun dalam bentuk upah/gaji yang di bayarkan. Selain itu akan terjadi pengurangan 134 ribu tenaga kerja selama lima tahun ke depan.

Kondisi itu, menurut Riyanto, akan menimbulkan masalah sosial baru karena berisiko meningkatkan kemiskinan bagi sekitar 539 ribu orang di wilayah tersebut, dengan asumsi setiap pekerja menghidupi empat anggota keluarga.

"Dampak ini akan menimbulkan persoalan sosial yang serius jika tidak diantisipasi," ujarnya.

Dia menilai, terbitnya PP 71/2014 jo PP 53/2016 mencerminkan tidak adanya inovasi kelembagaan dalam pengelolaan gambut.

PP tersebut akan memukul industri pulp dan kertas karena lebih dari 40 persen lahan HTI yang memasok bahan baku industri berada di lahan gambut, yang karena PP tersebut harus dikonversi menjadi fungsi lindung.

"Aturan ini tidak saja berpengaruh negatif bagi iklim investasi di daerah (terutama Riau dan Sumatera Selatan), tetapi juga membuat investor yang telah ada dan akan berinvestasi di daerah tersebut menarik diri," katanya.

Riyanto menambahkan, aspek lingkungan seperti kebakaran, emisi CO2, dan banjir, yang menjadi dasar terbitnya PP tersebut memang penting, tetapi sejatinya inovasi regulasi masih dapat dilakukan, misalnya mewajibkan pelaku usaha menerapkan pengelolaan lahan gambut ramah lingkungan dan sebagainya.

Upaya lain juga dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat dan pemerintah daerah sehingga aspek lingkungan hidup dapat tercapai tanpa menganggu proses produksi HTI.

Menurut Pengajar Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Kristianto Silalahi, setiap pembangunan memiliki dampak lingkungan tetapi bukan berarti karena adanya dampak tersebut pemerintah tidak melaksanakan pembangunan.

"Harus dicarikan solusi agar kepentingan lingkungan dan ekonomi dapat berjalan bersama," ujar dia.

Dia menjelaskan, hukum wajib melindungi seluruh kepentingan lingkungan hidup dan masyarakat termasuk pelaku usaha.

Konservasi memerlukan validasi data yang dapat dipertanggung jawabkan agar tidak menimbulkan polemik dan masalah di kemudian hari. Selain itu, hukum wajib menjadi proses peralihan yang dilakukan secara tertib administrasi dan reliable (dapat dipercaya).


(T.S025/B/S012/S012) 17-12-2017 23:50:47

Pewarta: Subagyo
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017