Semarang (ANTARA News) - Pakar komunikasi Universitas Diponegoro Semarang, Novel Ali menyarankan, revisi Undang-Undang Nomor 40/1999 tentang Pers memuat pasal yang mengatur tentang jaminan perusahaan pers atas kesejahteraan wartawan. "Industri pers memiliki karakter sendiri, yakni paduan idealisme dengan bisnis. Salah satu unsur terpenting di dalamnya adalah wartawan, karena itu wajar saja bila ada pasal khusus yang mengatur jaminan perusahaan terhadap wartawan," katanya di Semarang, Kamis. Jaminan tersebut, menurut dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Undip itu, misalnya kesanggupan perusahaan pers memekerjakan wartawan dengan masa kontrak dalam masa tertentu dan imbalan layak. "Tapi saya tidak setuju bila ada semacam upah minimum bagi wartawan seperti buruh di sektor industri dengan UMK (upah minimum kabupaten/kota). Biarlah pers mengatur sendiri," katanya. Ia mengakui, kemudahan setiap orang atau institusi mendirikan penerbitan tanpa ada jaminan kesejahteraan untuk wartawan, menyebabkan orang seenanknya mendirikan penerbitan tanpa disertai tanggung jawab memberi imbalan layak kepada pekerja pers. Di sisi lain, katanya, ketidakjelasan atas imbalan yang diterima wartawan pada penerbitan seperti itu bisa mendorong pewarta menyalahgunakan profesinya. Sekretaris Badan Pertimbangan Organiasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Adi Nugroho juga mengatakan pentingnya jaminan yuridis atas kesejahteraan wartawan dalam UU Pers yang kini akan direvisi itu. "Memang harus ada pasal yang mengatur jaminan kesejahteraan itu, tapi secara detail cukup dituangkan dalam peraturan pemerintah (PP)," katanya. Dalam PP tersebut, misalnya, bisa saja disebutkan bahwa perusahaan pers wajib memberi jaminan minimal dua tahun sejak penerbitan berdiri dengan memberi upah layak, misalnya serendahnya upah diberikan sesuai standar UMK setempat. LKBN ANTARA Mengenai keberadaan LKBN ANTARA yang tidak disebutkan dalam UU Pers, Novel Ali mengatakan, bila sejauh ini memang belum ada lembaga sama yang dibiayai oleh APBN, ANTARA sebagai kantor berita nasional berhak mendapat dukungan APBN. Kalau TVRI dan RRI sudah disebut dalam UU Penyiaran dan mendapat dukungan APBN, katanya, maka ANTARA sebagai pemasok berita untuk kepentingan publik juga bisa mendapat perlakuan sama. "Sejauh yang saya ketahui, hasil dari penjualan berita memang kurang mencukupi untuk menutup biaya operasional ANTARA. Jadi wajar bila ANTARA di-`back up` APBN," katanya. Adi Nugroho mengatakan, sebagai kantor berita nasional, keberadaan ANTARA perlu disebutkan dalam UU Pokok Pers.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007