Mereka membakar rumah. Kalau kami di dalam rumah, habis terbakar. Kalau keluar rumah, kami ditembak
Cox's Bazar (ANTARA News) - "Ini seperti mimpi buruk," kata pengungsi Rohingya Hamid Husein mengenang malam mencekam saat diserang tembakan oleh militer Myanmar.

Malam itu sekitar pukul 20.00, Hamid hendak tidur di rumahnya di distrik Maungdaw, Myanmar. Tiba-tiba terjadi kegaduhan. Tentara militer Myanmar menyerang desanya, membakar rumah-rumah milik warga Rohingya.

Hamid dan sembilan orang anggota keluarganya panik. Mereka berhamburan keluar.  

Tak mereka sangka, secara brutal militer Myanmar menembak warga yang hendak melarikan diri dari rumahnya. Suara teriakan dan tangisan beradu dengan desingan peluru tembakan.

Waktu seolah berhenti saat Hamid yang hendak menyelamatkan diri dihantam peluru dari arah depan maupun belakang. Hamid seketika terjatuh.

"Saya tertembak dan langsung tidak sadarkan diri," kata Hamid kepada ANTARA News di kamp pengungsian Madhuchara, Kutupalong, Cox's Bazar, Sabtu (23/12).

Hamid menunjukkan dua luka bekas tembakan di bawah pundaknya sebelah kanan dan bekas luka di bagian punggungnya.




Pengungsi Rohingya Hamid Husein (25 tahun) dari Maungdaw, Myanmar, menunjukkan bekas luka tembakan oleh militer Myanmar di kamp pengungsian Madhuchara, Kutupalong, Cox's Bazar, Bangladesh, Sabtu (23/12). (ANTARA News/Monalisa)

Hamid mengaku lupa kapan persisnya itu terjadi. Tetapi Hamid mengaku tidak pernah bisa melupakan peristiwa itu dalam hidupnya.

"Kakak saya yang juga kena luka tembak langsung meninggal di tempat," kata Hamid.

"Saya ketakutan," ujarnya lagi.

Menurut Hamid, ia sempat tidak sadarkan diri. Saat terbangun, Hamid berlari ke dalam hutan dalam kondisi masih terluka dan kesakitan.

Selama dalam masa pelarian, Hamid tidak makan dan minum. Setelah lima hari tertatih-tatih menyusuri hutan dan sungai, Hamid menembus perbatasan Myanmar-Bangladesh dan tiba di Kutupalong.

Hamid berhasil diselamatkan dari luka tembaknya dan mendapat tindakan operasi di Kutupalong.

"Alhamdulillah saya masih hidup. Tapi saya selalu teringat kakak saya yang meninggal," katanya.

Hamid mengaku enggan kembali ke kampung halamannya.

"Saya tidak mau kembali lagi ke sana. Di sana mereka jahat kepada kami, semua dirusak, perempuan diperkosa, rumah-rumah dibakar," tutur Hamid.

Mati terbakar atau ditembak


Fajar menjelang. Mokhtar Ahmad yang belum lama kembali dari perantauannya di Malaysia untuk melepas rindu dengan orang tuanya tidak pernah menyangka bahwa itu adalah pagi terburuk dalam hidupnya.

Tentara militer Myanmar menyerang rumah-rumah desanya. Suara tembakan meneror dari luar.

"Mereka membakar rumah. Kalau kami di dalam rumah, habis terbakar. Kalau keluar rumah, kami ditembak," ungkap Mokhtar.

Mokhtar dan kedua orang tuanya berusaha menyelamatkan diri. Namun, baru selangkah keluar dari rumah, Mokhtar langsung dilumpuhkan peluru tentara Myanmar, mengenai bawah pundaknya dari sisi sebelah kiri.

"Saat itu gelap, saya tidak tahu yang menembak dari arah mana," kata Mokhtar.

Ia langsung terjatuh. Ibunya histeris melihatnya tertembak.

Suasana semakin mencekam. Dalam keadaan terluka dan berdarah, Mokhtar dipapah ayahnya berlari ke arah hutan menuju perbatasan.




Pengungsi Rohingya Mokhtar ahmad (30) menunjukkan bekas luka tembakan di kamp pengungsian Madhuchara, Kutupalong, Cox's Bazar, Sabtu (23/12). Ia tertembak saat keluar dari rumahnya untuk melarikan diri dari Myanmar. (ANTARA News/Monalisa)

"Tangan saya diikat pakai kain yang dikalungkan ke leher. Ibu saya terus menangis. Saya sendiri syok," kata Mokhtar yang bekerja di Malaysia sejak 2011 sebagai pekerja besi itu.

Mokhtar bersama ibu dan ayahnya memakan apa saja yang ada di hutan. Ia tidak lagi memikirkan kesakitan akibat luka tembak, yang penting baginya bisa menyelamatkan diri.

Dalam pelarian diri ke Bangladesh, Mokhtar melihat banyak orang-orang yang tewas di jalan.

“Mereka kena tembakan dan sudah tidak kuat. Banyak yang meninggal di hutan. Suasananya sangat menyedihkan,” kenang pria berusia 30 tahun itu.

Hari berganti hari begitu terasa lama bagi Mokhtar. Perjuangan selama 15 hari menembus hutan, menyusuri sungai, naik turun bukit, terbayar sudah saat Mokhtar dan orang tuanya berhasil melewati perbatasan.

“Ini memang begitu buruk,” ujar Mokhtar yang lancar berbahasa Melayu.

Di antara pengungsi lainnya, ia cukup mencolok karena memakai pakaian rapi dan jam tangan yang melingkari di tangan kirinya.

Mokhtar bisa saja tidak harus mengalami kejadian pahit seperti saat ini jika ia masih tetap di Malaysia, “tetapi saya tidak menyesal kembali ke Myanmar karena bisa tetap berkumpul dengan orang tua saya.”


Diperkosa lalu dibunuh


Hasina Begum mungkin masih beruntung karena masih bisa bersama dengan suami dan anaknya meskipun hidup di pengungsian.

Hasina selamat dari ancaman militer Myanmar karena bersembunyi di dalam hutan selama sembilan hari. Lalu ia dan keluarganya menyeberang ke perbatasan Bangladesh menggunakan perahu bersama para pengungsi Rohingya lain selama dua hari.

Ditemui di hunian sementara yang dibangun organisasi kemanusiaan Indonesia, Aksi Cepat Tanggap (ACT), Hasina tampak murung di sudut dapur.

Pengungsi Rohingya Hasina Begum menjadi saksi mata pemerkosaan yang dilakukan militer Myanmar terhadap bibi dan sepupunya. Mereka juga membunuh kedua saudaranya tersebut. Hasina mengalami trauma sampai saat ini. (ANTARA News/Monalisa)

Ada kisah yang belum bisa ia lupakan sampai saat ini.

“Saya belum bisa tidur dengan tenang sampai sekarang,” ujar Hasina terbata-bata.

Hasina banyak menundukkan wajahnya dari balik kerudungnya yang berwarna hitam.

Hasina mengenang malam mencekam bagaimana ia menyaksikan sendiri bibi dan anak perempuannya diperkosa lalu dibunuh.

Pasukan militer Myanmar dan penjaga keamanan sipil memporakporandakan rumah-rumah warga Rohingya.

“Saya memanggil bibi saya untuk lari ke hutan, “ kata Hasina.

Sebelum bibi dan dua putrinya berhasil melarikan diri, tentara militer Myanmar menembaki mereka.

“Saat tahu mereka belum tewas, para tentara memperkosa mereka. Setelah itu mereka dibunuh,” ujar Hasina, kemudian ia terdiam.

Air mata mengalir di pipinya. Tangisan Hasina tanpa suara. Matanya yang terlihat kosong terus mengarah ke arah lantai.

“Saya tidak bisa melupakan kejadian itu,” katanya pelan.



Baca juga: Kisah pengungsi Rohingya yang berhasil menjadi dokter




VIDEO:




Pewarta: Monalisa
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2017