Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Republik Indonesia (RI) belum mendapatkan informasi yang memadai mengenai alasan pemberian gelar Ksatria oleh Ratu Inggris pekan lalu terhadap penulis kontroversial Salman Rushdie. "Kita belum mendapatkan informasi yang memadai mengenai alasan atau apa yang menjadi dasar memberikan penghargaan itu kepada Salman Rushdie. Apakah ini terkait dengan hasil karyanya yang pernah menimbulkan kontroversi atau karena hal yang lain," kata Jurubicara Departemen Luar Negeri RI Kristiarto Legowo di Ruang Palapa, Deplu RI, Jumat, saat ditanya mengenai posisi RI atas pemberian gelar itu. Jika itu memang ada kaitannya dengan karya Rushdie yang pernah menimbulkan kontroversi tentunya pemerintah RI beranggapan itu tidak kondusif terhadap upaya-upaya yang saat ini sedang dilakukan untuk meningkatkan saling pengertian antar agama, jelasnya. Pemerintah RI dan Inggris memiliki forum Indonesia-United Kingdom Islamic Advisory Group (IUIAG) yang diharapkan mampu memberi kontribusi untuk menampilkan wajah Islam yang sebenarnya yaitu cinta damai, moderat, dan menjadi bagian solusi dari masalah-masalah global. IUIAG merupakan kerjasama antara Indonesia dan Inggris yang disepakati oleh Presiden Yudhoyono dan PM Inggris Tony Blair. Pada 31 Januari 2007 di London, Menlu RI dan Menlu Inggris secara resmi telah meluncurkan IUIAG dengan keanggotaan dari masing-masing negara sebanyak tujuh orang. Delegasi Indonesia diketuai Azyumardi Azra dengan anggota antara lain Din Syamsuddin, Marwah Daud Ibrahim, Nasharuddin Umar, dan Abdul Mu`ti. Sedangkan Delegasi Inggris diketuai Musharraf Hussein. Pertemuan pertama IUIAG dilaksanakan di London, Inggris, pada 31 Januari 2007 sedangkan pertemuan kedua dilakukan di Jakarta, pada 13-15 Juni 2007. Pada kesempatan sebelumnya Menlu Hassan Wirajuda mengatakan pemberian gelar itu dapat mempengaruhi upaya perbaikan hubungan antarperadaban, budaya dan agama. "Dari segi waktu, saya katakan tidak tepat untuk menciptakan suasana kondusif dan saling pengertian yang lebih baik dari hubungan antar peradaban, budaya dan agama," kata Menlu. Menurut Menlu, sosok Salman Rushdie sudah menjadi kontroversi sejak dia mengarang buku "Ayat-ayat Setan" pada tahun 1988, yang mendapat tentangan dari dunia Islam termasuk Indonesia. Pemberian gelar Ksatria oleh ratu Inggris Elizabeth II terhadap Salman Rushdie telah memicu kemarahan masyarakat di sejumlah negara seperti Iran, Pakistan dan Malaysia. Kementrian Luar Negeri Iran, Rabu kemarin telah memanggil dutabesar Inggris Geoffrey Adams untuk Teheran, karena pemberian gelar itu diangggap sebagai perbuatan memanas-manasi, yang membuat marah satu setengah miliar Muslim di seluruh dunia. Pemerintah Pakistan Selasa 19 Juni juga memanggil dutabesar Inggris untuk negara itu dan menyampaikan bahwa pemberian gelar Ksatria untuk pengarang Salman Rushdie menunjukkan sikap yang tidak peka dan berlawanan dengan usaha membina pengertian di antara agama. Parlemen Pakistan juga menyetujui resolusi mencela pemberian gelar itu dan menteri urusan agama menyatakan kehormatan itu bisa digunakan untuk membenarkan pemboman jibaku. Sedangkan sejumlah pendukung partai Islam Malaysia hari Rabu kemarin berunjukrasa di luar kedutaan besar Inggris menolak pemberian gelar itu sambil meneriakkan slogan "Hancurkan Salman Rushdie" dan "Hancurkan Inggris". "Itu mencemari keseluruhan keksatriaan, seluruh kehebatan pranata Inggris," kata bendahara partai Islam, Hatta Ramli. Sebelumnya, pada 1989 pemimpin rohani Iran Ayatollah Khomeini menjatuhkan hukuman mati atas Rushdie untuk perkara penghujatan terhadap umat Islam yang termuat dalam buku "Satanic Verses" itu.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007