Karawang (ANTARA News) - Upah Minimum Kabupaten (UMK) Kabupaten Karawang, Jawa Barat, setiap tahunnya mengalami kenaikan, hingga mendekati Rp4 juta/ bulan pada 2018 yang menjadikannya UMK tertinggi di Indonesia.

Perjalanan kenaikan UMK di kota industri tersebut berawal sejak tahun 2015 yang mencapai Rp2.957.450/bulan atau naik 23,81 persen dibandingkan upah minimum pada 2014.

Kemudian naik pada 2016 menjadi Rp3.330.505 dan terus merangkak hingga mencapai Rp3.605.272 pada 2017 sampai akhirnya menembus angka Rp3.919.291 pada tahun 2018.

Catatan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) setempat, UMK Karawang 2018 yang telah ditetapkan Pemerintah Provinsi Jabar mencapai Rp3,9 juta tidak hanya menjadi upah yang tertinggi di Indonesia. Tapi juga mengungguli upah di sejumlah ibu kota negara di Asia.

UMK Karawang setidaknya mengalahkan upah minimum yang diberlakukan di New Delhi (India) sebesar Rp1.958.800, Bangkok (Thailand) Rp2.544.598 dan Kuala Lumpur (Malaysia) Rp3.110.424.

Karawang juga mengungguli upah minimun di Beijing (Republik Rakyat China) sebesar Rp3.317.427, Hanoi (Vietnam) Rp2.362.794, Manila (Filipina) Rp2.911.603, dan tentu saja ibu kota Jakarta sebesar Rp3.355.750.

Keberhasilan Karawang menempatkan UMK mereka sebagai nominal tertinggi di Indonesia tentu saja menyisakan dua reaksi. Kegembiraan akan menyeruak di kalangan pekerja dan buruh Karawang. Siapa yang tidak mau digaji tinggi?

Sementara bagi kalangan pengusaha keputusan UMK 2018 Karawang memaksa mereka memutar otak lebih keras untuk menghindari dampak yang akan ditimbulkan akan tingginya nominal tersebut.

Hal tersebut diakui Ketua Apindo Karawang Abdul Syukur yang khawatir kenaikan UMK yang mendekati angka Rp4 juta itu akan memperbanyak angka pemutusan hubungan kerja (PHK).

Kekhawatiran itu cukup beralasan, karena perusahaan padat karya memungkinkan pindah ke daerah lain yang notabene UMK-nya lebih rendah. Sedangkan perusahaan padat teknologi kemungkinan menggantikan tenaga manusia dengan robot.

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Karawang Suroto juga mengakui bahwa ditetapkannya UMK 2018 sebesar Rp3.919.291 berpotensi terjadinya PHK massal.

Sepanjang Januari hingga September 2017 misalnya, dampak dari kenaikan UMK 2017 lalu telah mengakibatkan sedikitnya 12 ribu karyawan dirumahkan.

PHK massal yang terjadi pada 2017 banyak dilakukan oleh industri di sektor tekstil, sandang, dan kulit (TSK). Kondisi itu terjadi karena sejumlah perusahaan hengkang dari Karawang dengan alasan UMK yang tinggi.

"Mereka pindah karena tidak kuat menanggung upah tinggi. Kebanyakan pindah ke Garut, Majalengka, atau Jawa Tengah yang UMK nya lebih kecil," kata dia.

Berkaca dengan pemberlakuan UMK 2017 yang mencapai Rp3,6 juta itu, terdapat 26 perusahaan yang mengajukan penangguhan, 25 di antaranya dikabulkan.

Perusahaan-perusahaan yang sebelumnya telah dikabulkan penangguhan UMK 2017 itu terus berusaha bertahan seiring dengan diizinkannya membayar upah tidak sesuai UMK tahun 2017. Tetapi perusahaan yang bertahan itu akhirnya kandas menjelang akhir tahun ini.

Disnakertrans Karawang menyatakan sejumlah perusahaan yang bergerak di bidang TSK gulung tikar pada Desember ini. Penyebabnya tidak lain akibat kenaikan UMK.

"Perusahaan yang tutup pada akhir tahun ini ialah perusahaan yang sebelumnya telah mengajukan penangguhan UMK," katanya.

Dengan adanya sejumlah perusahaan yang tutup selama Desember, maka angka PHK di Karawang mencapai sekira 14 ribu pekerja.

Potret PHK massal yang terjadi pada 2017 kemungkinan besar akan terulang pada 2018, karena UMK Karawang yang diberlakukan tahun depan memang cukup tinggi sampai mendekati Rp4 juta.

Jika PHK massal kembali terjadi, pengangguran akan bertambah dan tentunya berefek "penumpukan" pencari kerja yang berasal dari lulusan Sekolah Menengah Atas atau sederajat di Karawang. Lalu, siapkah pemerintah Karawang menghadapi kondisi itu?


Penangguhan UMK 2018

PHK massal hingga mencapai sekira 14 ribu pekerja telah terjadi di Karawang yang terkenal dengan julukan kota industri sepanjang tahun 2017.

Bayang-bayang PHK masih akan terjadi pada 2018, khususnya bagi perusahaan padat karya yang terkena dampak langsung dari kenaikan UMK hingga mencapai Rp3,9 juta.

Disnakertrans Karawang telah mendapatkan laporan terkait dengan perusahaan yang tidak sanggup membayar UMK tahun 2018. Enam perusahaan di daerah tersebut telah mengajukan penangguhan UMK 2018.

"Dari laporan yang kami terima, keenam perusahaan itu sudah mengajukan penangguhan UMK 2018 ke Pemerintah Provinsi Jabar," kata Kepala Disnakertrans Karawang Suroto.

Keenam perusahaan itu merupakan perusahaan padat karya atau perusahaan yang bergerak di bidang TSK.

Penangguhan UMK dibolehkan bagi perusahaan yang tidak mampu membayar upah sesuai dengan UMK, karena hal tersebut diatur dalam ketentuan yang berlaku. Tapi ada proses yang harus dilewati pihak perusahaan untuk bisa menangguhkan UMK.

Di antara ketentuannya ialah adanya kesepakatan bersama antara pihak perusahaan dengan karyawan yang diwakili serikat pekerja terkait dengan pembayaran upah dibawah UMK.

Penangguhan UMK yang disampaikan perusahaan itu sekaligus menjadi "lampu kuning" terkait dengan bayang-bayang PHK pada tahun depan. Sebab perusahaan yang melakukan PHK sepanjang tahun 2017 umumnya telah melakukan penangguhan UMK sebelumnya.

Kalau kenaikan UMK menjadi faktor utama terjadinya PHK, maka perlu diwaspadai. Termasuk diwaspadai para kepala daerah, karena umumnya kenaikan UMK yang fantastis itu turut didukung kepala daerah yang sudah telanjur melontarkan janji politiknya terhadap kalangan buruh.


PHK

Catatan Disnakertrans Karawang mengenai PHK massal sepanjang tahun 2017 ternyata bukan bualan. Itu bukan sekedar pernyataan sinis pemerintah yang diwakili Disnakertrans dalam menanggapi kenaikan UMK.

Buktinya, dari sejumlah program yang diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan Karawang kepada para pekerja di perusahaan-perusahaan, klaim pembayaran Jaminan Hari Tua (JHT) atau uang yang disisihkan untuk masa pensiun ataupun berhentinya masa kerja berada diurutan pertama.

Selama tahun ini, BPJS Ketenagakerjaan Karawang telah membayarkan klaim sebesar Rp276,17 miliar untuk 34.663 kasus ketenagakerjaan.

Dari pembayaran klaim sebesar Rp276,17 miliar itu, yang terbanyak ialah untuk klaim JHT sebesar Rp251,27 miliar untuk 30.860 kasus.

Terkait dengan klaim JHT yang angkanya cukup besar hingga mencapai Rp251,27 miliar, didominasi oleh tenaga kerja yang mengundurkan diri sebanyak 17.477 orang serta akibat PHK sebanyak 11.875 orang.

Kepala BPJS Ketenagakerjaan Karawang Toto Suharto, kepada Antara, menjelaskan, secara khusus sebenarnya ada dua pilihan bagi seorang pekerja saat perusahaan tempatnya bekerja mengalami kolaps atau terancam bangkrut.

Pilihan pertama ialah menjadi korban PHK atau mengundurkan diri. Karena itu, pihaknya menyimpulkan besarnya klaim JHT sepanjang tahun 2017 dipicu cukup tingginya jumlah PHK akibat banyaknya perusahaan yang bangkrut atau pindah ke daerah lain.

Perusahaan-perusahaan tersebut mengalami bangkrut atau pindah ke daerah lain murni akibat tidak mampu membayar upah pekerjanya sesuai dengan UMK yang cukup tinggi.

"Jadi, tingginya pembayaran klaim dari program JHT itu dipicu banyaknya perusahaan yang 'gulung tikar' selama tahun 2017," kata

Ia menegaskan, perusahaan-perusahaan di Karawang banyak yang tutup atau pindah ke daerah lain, karena tingginya kenaikan UMK Karawang selama beberapa tahun terakhir, sehingga mereka melakukan PHK.

BPJS Ketenagakerjaan Karawang secara tidak langsung merasakan efek dari kenaikan UMK itu, karena banyak terjadi PHK.

Seiring dengan itu, BPJS Ketenagakerjaan setempat terhambat dalam mencapai target kepesertaan jaminan sosial ketenagakerjaan.

"Sejak Januari hingga Desember 2017, ada 131 perusahaan yang pekerjanya mengklaim program JHT ke BPJS Ketenagakerjaan Karawang. Jadi otomatis, ada pengurangan kepesertaan," kata Toto.

Pewarta: M.Ali Khumaini
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2017