Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta keterangan Setya Novanto terkait pengembangan perkara KTP elektronik (KTP-e) terkait keterlibatan pihak lain.

"Setya Novanto dimintakan keterangan untuk keperluan pengembangan perkara KTP-e terkait keterlibatan pihak lain dalam kasus ini," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Rabu.

Saat tiba di gedung KPK, Novanto menyatakan sehat untuk dimintakan keterangan soal pengembagan perkara KTP-e itu. "Sehat," ucap Novanto singkat.

Sementara saat dikonfirmasi soal lanjutan sidang perkara KTP-e pada Kamis (4/1), ia menyerahkan semuanya ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) ataupun penyidik.

"Kami serahkan semua ke penyidik, JPU. Kami percayakan semuanya," ujar Novanto.

Adapun agenda sidang lanjutan itu, yakni putusan sela Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta atas nota keberatan atau eksepsi dari pihak Novanto.

Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum KPK meminta agar keberatan atau eksepsi tim penasihat hukum mantan Ketua DPR Setya Novanto dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan KTP elektronik ditolak oleh majelis hakim.

"Kami Penuntut Umum memohon kepada majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk memutuskan, satu, menolak keberatan/eksepsi dari tim penasihat hukum terdakwa; dua menyatakan bahwa Surat Dakwaan No Dak-88/24/12/2017 tanggal 6 Desember 2017 yang telah kami bacakan pada tanggal 13 Desember 2017 telah memenuhi syarat sebagaimana yang ditentukan dalam KUHAP; tiga menetapkan untuk melanjutkan persidangan ini berdasarkan surat dakwaan penuntut umum," kata Jaksa penuntut Umum KPK Eva Yustisiana dalam sidang pembacaan tanggapan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (28/12).

Novanto didakwa mendapat keuntungan 7,3 juta dolar AS dan jam tangan Richard Mille senilai 135 ribu dolar AS dari proyek KTP-e.

Dalam perkara ini, Novanto didakwakan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018