Jakarta (ANTARA News) - Pertemuan dua tokoh parpol, Golkar dan PDIP, yakni Surya Paloh dan Taufiq Kiemas, di Medan beberapa hari lalu patut disimak kelanjutannya, apakah bermanfaat atau tidak bagi bangsa dan negara, terutama dalam membangkitkan kembali nilai-nilai nasionalisme kebangsaan. "Soalnya, dengan kenyataan perundang-undangan kita sekarang, kebangkitan jiwa nasionalisme kebangsaan itu sulit bisa dilakukan dalam waktu singkat," kata mantan Ketua DPP Golkar, Pinantun Hutasoit, di Jakarta, Sabtu. Ia mencontohkan, dengan tiga orang saja bisa didirikan LSM, yang tidak diketahui siapa otaknya dan darimana dananya, namun mampu mengobrak-abrik semangat nasionalisme kebangsaan. Sistem perundang-undangan yang memungkinkan semua itu, terjadi dengan dalih demokrasi dan atas nama hak asasi manusia (HAM). Pinantun menilai, pertemuan kedua pemimpin parpol besar itu baik jika dikaji dari dua sisi, yakni cita-cita itu diperlukan karena memang ideologi kebangsaan saat ini sudah sangat mundur dan untuk memberikan mawas diri atau `self correction` khususnya bagi Golkar. Pada sisi cita-cita membangkitkan kembali semangat nasionalisme kebangsaan, sudah tercakup dalam perundang-undangan, tetapi pelaksanaan tak bisa diharapkan. Introspeksi bagi Golkar, dalam hal ini, adalah apakah doktrin Golkar sekarang masih seperti yang dulu, yakni bervisi kebangsaan yang sangat kental. Pertanyaan ini dia lontarkan mengingat sikap petinggi Golkar, seperti bagaimana Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar Agung Laksono mengurus kader dan manuver Ketua Umum Jusuf Kalla belakangan ini . Secara obyektif, Golkar perlu mengoreksi diri apakah semangat nasionalisme, kebangsaan, pancasilais seperti yang dikemukakan para pemimpinnya itu sudah benar atau tidak . Mantan anggota DPR/MPR ini berpendapat, berdasarkan kondisi yang ada sekarang, untuk membangkitkan kembali semangat dan jiwa nasionalisme kebangsaan perlu dlakukan dekrit kembali ke UUD 1945. "Dengan demikian, baru ada gerbong untuk mengembalikan semangat dan jiwa kebangsaan itu," kata Pinantun.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007