Jakarta (ANTARA News) - 2007 tahun yang sangat menentukan bagi kelangsungan perjalanan Kosovo, sebuah provinsi di Serbia yang beribukota Pristina. Dibandingkan dengan sejumlah rekannya seperti Slavia, Bosnia-Herzegovina, dan Montenegro, nasib Kosovo tidak semulus negara-negara tersebut. Jika para tetangganya sudah berhasil memerdekakan diri pascapecahnya negara federasi Yugoslavia, Kosovo justru terjebak dalam ajang pertentangan wilayah antara pemerintah Serbia dan penduduknya yang mayoritas etnis Albania selama delapan tahun terakhir. Semula Kosovo merupakan provinsi Serbia dengan status Daerah Otonomi Khusus, bersama dengan daerah khusus Vojvodina sejak berdirinya Yugoslavia. Setelah berkibarnya perang, Kosovo berada di bawah pengawasan PBB sebagai sebuah protektorat. Kosovo yang dianggap Serbia sebagai tempat lahir kebudayaannya, lepas dari kekuasaan Beograd pada 1999 ketika pemboman NATO mengusir pasukan Serbia yang membunuh 10.000 warga sipil etnik Albania dalam perang dua tahun dengan gerilyawan. Sekalipun Serbia masih menganggap Kosovo sebagai bagian dari kekuasaannya, warga Albanianya menyebut Kosovo dengan nama Republik Kosovo antara tahun 1990 dan 1999 dan menyatakannya sebagai sebuah negara merdeka, meski itu hanya diakui oleh Albania. Di pertengahan 2007, negara-negara Barat menyatakan sebagai waktu yang tepat untuk mengakhiri kebuntuan lama mengenai provinsi yang memisahkan diri itu karena pembicaraan mengenai statusnya antara minoritas Serbia dan mayoritas etnik Albania di Kosovo macet. Akhir pekan lalu, di Markas Besar Dewan Keamanan PBB New York, AS dan negara-negara Eropa mengedarkan rancangan resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengusahakan penundaan empat bulan sebelum mengadakan rencana kemerdekaan bagi provinsi Kosovo, Serbia. Jeda 120-hari itu guna memungkinkan Beograd dan etnik mayoritas Albania di Kosovo melanjutkan pembicaraan mengenai penyelesaian yang dapat diterima kedua belah pihak. Rancangan itu, yang tak secara terbuka menyebutkan kemerdekaan, menyampaikan penghargaannya bagi penengah PBB mengenai rencana utusan PBB Martti Ahtisaari tentang Kosovo untuk menjamin "kemerdekaan yang diawasi" bagi provinsi Serbia tersebut. Setelah 120 hari, jika pembicaraan itu gagal, resolusi tersebut secara otomatis akan mulai memberlakukan rancangan kemerdekaan yang disusun oleh Ahtisaari kecuali Dewan Keamanan dengan jelas memutuskan sebaliknya setelah melakukan evaluasi. Menurut rencana Ahtisaari, seorang utusan Eropa yang diberi mandat oleh PBB dan EU akan menggantikan misi PBB dengan kekuasaan untuk memveto undang-undang dan memecat pejabat setempat, EU akan mengerahkan misi polisi berdampingan dengan pasukan perdamaian NATO berkekuatan 16.500 tentara sekarang ini. Kosovo akan memiliki hak untuk masuk ke perjanjian internasional dan mengupayakan keanggotaan dari organisasi internasional, yang dapat mencakup PBB. Naskah itu juga meminta Sekjen PBB Ban Ki-moon untuk mengadakan pembicaraan dengan semua pihak -- yang dengan jelas menunjuk pada Kosovo--, "meminta pihak-pihak itu untuk tidak membuat pernyataan sepihak mengenai status akhir selama periode tersebut". Namun di Pristina sebagaimana dikutip Reuters, Perdana Menteri Agim Ceku mengatakan ia hanya melihat sedikit hal dalam pembukaan kembali pembicaraan dengan Serbia. "Kami telah mengakhiri pembicaraan mengenai paket Ahtisaari," ia mengatakan pada wartawan setelah pembicaraan dengan utusan Uni Eropa di Kosovo, Stefan Lehne. "Kami tidak memiliki apapun untuk dibicarakan lagi." Ceku memperingatkan adanya kemungkinan "krisis kepercayaan" dalam kepemimpinan Kosovo jika kemerdekaan ditangguhkan lebih lama, tapi mengakui banyak yang harus dilakukan "guna meyakinkan Rusia untuk sedikitnya tidak memberikan suara". Veto Rusia Usulan untuk memerdekan wilayah yang berpenduduk mayoritas muslim itu tidak semulus harapan warga Kosovo karena masih memperoleh ganjalan dari Rusia, sekutu dekat Serbia, yang mengancam akan menggunakan hak vetonya. Pada sidang Jumat (22/6), Duta Besar Rusia di PBB Vitaly Churkin sebagaimana dikutif AFP mengatakan rancangan tersebut "tak membawa kami jadi lebih dekat dengan hasil yang dapat diterima", dan berkilah bahwa "tak dapat terlaksana perundingan murni antara semua pihak" kalau pada akhir masa 120-hari, rencana Ahtisaari akan dilaksanakan secara otomatis. Beograd memuji Rusia atas keputusannya untuk bertindak menentang rancangan baru itu, yang "melanggar Piagam PBB" dengan "merebut bagian penting" wilayah satu anggota PBB. Namun, utusan Perancis di PBB Jean-Marc de La Sabliere menampik alasan Churkin dan mengatakan terdapat "cukup (alasan) dalam teks itu untuk mendorong semua pihak agar berunding". Ia menyeru timpalannya dari Rusia agar mengajukan usul tandingan. Wakil Duta Besar PBB dari Inggris Karen Pierce mengatakan kebanyakan anggota DK mendukung rancangan tersebut dan memperingatkan, "Kami kira Beograd tak dapat mengajukan usul yang tak menerima" kenyataan bahwa etnik Albania, yang merupakan 90 persen dari penduduk Kosovo, takkan menerima apa pun selain kemerdekaan total dari Republik Serbia. Jika Rusia menolak menyetujui rencana itu, Barat harus memutuskan terus dengan rancangan resolusi itu bagaimanapun juga, atau tidak. Beberapa diplomat memberikan kesan satu perjanjian mungkin akan bergantung pada pembicaraan antara Presiden AS George W. Bush dan Presiden Rusia Vladimir Putin pada pertemuan mereka 2 Juli di kompleks keluarga Bush, Kennebunkport, Maine. Sikap Indonesia Sebagai salah satu anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, pemerintah RI memiliki andil untuk turut menentukan masa depan Kosovo. Posisi Indonesia atas kasus Kosovo boleh jadi terbilang dilematis mengingat di dalam negeri juga terdapat sejumlah isu separatisme sekalipun isu tersebut bukan dipicu oleh pelanggaran HAM berat melainkan lebih kepada kesenjangan ekonomi atau pembangunan yang tidak merata. Ditemui di Ruang Palapa Deplu RI, Jakarta, akhir pekan lalu, Direktur Keamanan Internasional Deplu RU Desra Percaya mengatakan bahwa pemerintah RI masih melihat dan mempelajari proposal baru mengenai status akhir Kosovo yang diajukan oleh AS dan Eropa. "Status akhir posisi RI untuk Kosovo adalah masih melihat, masih mempelajari karena kita juga masih melakukan berbagai kontak dan negosiasi baik di Jakarta maupun di New York terhadap proposal yang baru ini," katanya. Menurut Desra, pemerintah RI berharap agar penentuan status akhir Kosovo sesuai dengan hukum internasional dan juga prinsip-prinsip yang terkandung dalam piagam PBB. Dia mengatakan, rancangan resolusi baru tersebut mengandung sedikitnya dua perbedaan dari rancangan yang sebelumnya. Perbedaan pertama, lanjutnya, diberikan waktu empat bulan kepada Pristna dan Beograd untuk melakukan negosiasi langsung. "Yang kedua adalah dicantumkan suatu rujukan baru mengenai prinsip kekhususan atau keunikan kasus Kosovo," katanya. Menurut Desra, pada tingkat tertentu ada kebenaran dari prinsip kekhususan. "Yang menjadi persoalan adalah jangan sampai dalam penentuan status akhir Kososvo dilakukan melalui pemaksaan dan kedua juga kita katakan agar dilakukan dengan cara-cara damai," katanya. Perdebatan mengenai status akhir Kosovo memang belum lagi final, masih diperlukan waktu sedikitnya 120 hari lagi bagi publik untuk mengetahui akhir kisah itu. Namun, satu hal yang tidak kalah menarik adalah "drama" yang akan terjadi dalam pemungutan suara mengenai status akhir Kosovo di DK PBB yang disebut-sebut hanya akan dapat digelar setelah pertemuan antara Bush dan Putin awal Juli.(*)

Oleh Oleh Gusti NC Aryani
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007