Pekanbaru (ANTARA News) - Ketenangan yang dirasakan Sarni (47) dalam dua tahun terakhir kembali terusik menyusul tertangkapnya satu demi satu teroris oleh aparat kepolisian. Sarni bukanlah teroris yang diburu aparat kepolisian di tempat persembunyiannya, tetapi dia hanyalah seorang Ketua Rukun Tetangga (RT) di sebuah perkampungan yang terpencil pula. Perannya sebagai Ketua RT itulah yang membuatnya dicari aparat penegak hukum, bahkan diburu para pencari berita, sehingga ketenangannya bermukim di kampung Pendekar Bahan Kepenghuluan Bangko Kiri Kecamatan Bangko Pusako Kabupaten Rokan Hilir (Rohil), Riau, ikut terusik. "Awak bukanlah siapa-siapa. Tetapi, gara-gara Noordin M Top, awak ikut ngetop," ujar Sarni seraya tertawa dengan logat Melayu tempatan. Gara-gara Noordin M Top, Ketua RT 15 RW 06 kampung Pendekar Bahan yang berjarak sekitar 89 kilometer dari Bagan Siapi-api (ibukota Rohil) atau sekitar 290 kilometer dari Pekanbaru, Sarni acap menerima kedatangan orang asing. "Yang datang kemari jika tidak polisi, ya wartawan," ujar ayah empat anak dan kakek dari empat cucu itu. Kisah ngetopnya bermula setelah tragedi meledaknya bom di Bali pada 2004, yang sering disebut Bom Bali II. Kehidupan masyarakat di Pendekar Bahan ikut tergoncang karena disebut-sebut melindungi teroris di kampung terpencil yang tidak dilewati angkutan umum itu. Dalam kejadian itu nama Noordin M. Top telah dilibatkan, dan aparat keamanan pun memburu ke Pendekar Bahan karena di kampung yang dikelilingi ladang minyak, kebun sawit dan kebun karet itu bermukim mertua, istri dan ketiga anak Noordin. "Setelah bom Bali meletus, saya ikut tergoncang di sini karena dicari-cari aparat dan wartawan," katanya, saat ditemui ANTARA News, sambil menakik karet di halaman belakang rumahnya. Sebagai Ketua RT, ia dipandang amat mengetahui keberadaan warganya dan siapa saja mereka. Apalagi kampung yang berjarak sekitar 31 kilometer dari Simpang Manggala Junctions, Ujung Tanjung itu hanya dihuni sekitar 82 kepala keluarga. Sarni yang telah 15 tahun bermukim di Pendekar Bahan dan delapan tahun menjadi ketua RT mengakui, semula sangat ketakutan didatangi petugas polisi dari Detasmen 88 dan mengaitkan warganya dengan teroris. Kata-kata teroris baginya amatlah mengerikan sehingga ia takut dicap sebagai teroris. Lagipula, di kampungnya yang aman damai itu tidak pernah terjadi tindak kejahatan apalagi adanya "tukang" bom. "Saya benar-benar terkejut pertama kali dicari-cari polisi dari Detasmen 88 dan dikatakan pula di tempat ini ada teroris tinggal dan tukang bom," katanya. Rupanya, ujar dia, ada keluarga Noordin M Top, penjahat yang amat dicari polisi karena terlibat aksi teror, bermukim di kampung tersebut. Sejak 2002 mertua Noordin M Top yakni Rusdi (60) bersama istrinya Siti Fatimah (55) bermukim di kampung tersebut setelah pindah dari Johor, Malaysia. Rusdi yang sehari-harinya dikenal amat taat beribadah itu bekerja sebagai penakik getah dan ia memiliki rumah serta lahan karet seluas dua hektare. Semula Rusdi hanya tinggal berdua dengan istrinya, namun pada 2004 sebelum meletusnya bom Bali, anaknya Siti Rahmah bersama suaminya Noordin M Top dan ketiga anaknya ikut tinggal bersama Rusdi. Kala itu, Noordin hanya sebentar tinggal di kampung itu dan kemudian ia pergi sedangkan istri dan anaknya menetap dengan kedua mertuanya. "Dari polisilah saya baru tahu bahwa Rusdi merupakan mertua Noordin. Selama ini kami tidak tahu karena dia tidak bergaul dengan masyarakat, diundang kenduri atau wirid tidak pernah datang," tutur Sarni perihal kehidupan keluarga Noordin. Ia mengakui, telah membuat kartu keluarga Noordin atas nama mertuanya Rusdi. Saat akan menetap di daerah itu Rusdi telah mendatanginya, dan menyatakan akan tinggal mengolah kebun yang telah dibelinya dari masyarakat setempat. Lagipula, katanya, saat datang melapor dan minta dibuatkan kartu keluarga, Rusdi membawa surat keterangan pindah dari tempat tinggalnya terdahulu, yakni di Ulu Tiram, Johor, Malaysia. "Saya sempat disalahkan polisi karena membuat kartu tanda penduduk bagi keluarga Noordin," katanya. Padahal, ujarnya, warganya itu dalam kesehariannya bersikap baik walaupun jarang bergaul dengan masyarakat dan telah menetap di daerah itu cukup lama. Dia punya rumah dan kebun di kampung itu. "Tak mungkin tidak dibuat KK atau KTP-nya sebab ia telah jadi warga sini," katanya. Sarni mengakui, dari 82 kepala keluarga yang bermukim di perkampungan tersebut hanya satu kepala keluarga yag merupakan warga asli Melayu Rohil, yakni Ketua Rukun Warga (RW) 06, Iskandar, sedangkan yang lainnya merupakan warga pendatang dari suku Jawa yang berasal dari Sumatera Utara dan Pulau Jawa. Dirinya sendiri merupakan pendatang dari Tebing, Gunung Parah, Simalungun, Sumatera Utara. Kampung tersebut 17 tahun lalu merupakan areal ladang masyarakat dengan dihuni 33 kepala keluarga tapi kemudian berkembang menjadi sebuah RT. Kampung yang sebelumnya aman damai dengan aktivitas masyarakat menakik getah dan mendodos sawit itu belakangan berubah menjadi kampung yang ramai dibincangkan sebagai sarang teroris. Oleh karena, tiga orang warganya selain Noordin juga terdapat Rois bin Rusdi (ipar Noordin) dan Ismail bin Datam (kerabat Rusdi) terlibat dalam bom Bali. Rois ditangkap di Pekanbaru sedangkan Ismail ditangkap di Bandung dan keduanya kini berada di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Jakarta. Kedua anak muda itu direkrut Noordin saat mereka menjadi santri di Pesantren Lukmanul Hakim di Ulu Tiram, Johor. "Saya yang menandatangani surat penangkapan Ismail. Saat itu aparat kepolisian datang bersama Datam (orang tua Ismail)," ujar Sarni. Tandatangan surat penangkapan itu dilakukannya sebagai penjelasan bahwa Ismail merupakan warganya. Peristiwa tahun 2004 itu betul-betul membuatnya sibuk. Dalam satu hari lima sampai tujuh kali tamu yang hadir ke rumahnya bahkan tengah malam pun ada yang mengetuk pintu rumahnya. Kini saat aparat keamanan sibuk melakukan penangkapan terhadap gembong teroris di tanah air seperti Abu Dujana alias Ainun Bahri dan terus mengejar Noordin M Top, ketenangan Sarni mulai terusik lagi. Setelah dua tahun ia cukup tenang menjalankan aktivitas sehari-harinya. Sepekan terakhir, lagi-lagi ia berurusan dengan polisi dan wartawan yang mencarinya. Mereka umumnya ingin tahu keberadaan Noordin melalui Sarli. Sementara itu, keluarga Noordin yakni mertua, istri dan ketiga anaknya telah minggat dari kampung kecil itu ke daerah lain. "Saya tidak tahu ke mana mereka pergi. Tidak ada bilang dengan saya," ujar Sarni. Ia mengemukakan, meskipun keluarga Noordin telah hengkang dari kampung itu sejak usai Lebaran 2006, masih ada saja orang yang datang menanya kepadanya. "Mungkin setelah Noordin betul-betul tertangkap, baru saya aman tidak ditanyai terus oleh polisi dan wartawan," ujarnya seraya tertawa lebar. Namun, ia bersyukur bahwa gara-gara Noordin ia telah berulang kali masuk TV dan koran diwawancarai wartawan perihal keberadaan keluarga Noordin M. Top di kampungnya. (*)

Oleh Oleh Evy R. Syamsir<
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007