Tokyo (ANTARA News) - Masih ingat bagaimana sambutan masyarakat dan pers Jepang ketika 208 perawat dan caregivers Indonesia tiba di Negeri Matahari Terbit ini pada awal Agustus 2008?

Betul, keraguan! Namun pandangan enam bulan lalu itu nampaknya mulai berangsur-angsur sirna. Ibarat pepatah "Tak kenal maka tak sayang" begitulah kesan publik Jepang terhadap kualitas tenaga perawat dan caregivers ( perawat untuk kaum lanjut usia). Keberadaan pekerja Indonesia tersebut kini mulai bisa diterima masyarakat Jepang.

Asal tahu saja, mulai Januari 2009, para caregivers juga sudah mulai ditempatkan di sejumlah panti jompo di kota-kota besar di Jepang, seperti yang diungkapkan kpManajer Departemen Pelatihan Luar Negeri AOTS Hideaki Otani kepada Antara di Tokyo, Selasa (6/1) lalu. Sedangkan kelompok perawat sendiri baru mengikuti hal yang sama pada akhir Januari atau bulan berikutnya. Mereka bekerja sambil tetap mengikuti pelatihan.

Penerimaan masyarakat Jepang terungkap dalam laporan Presiden AOTS ((Association for Overseas Technical Scholarship) Kazuo Kaneko kepada Dubes RI untuk Jepang Jusuf Anwar pada 16 Desember 2008. Saat itu Dubes berkunjung ke Yokohama Kenshu Center, yang merupakan pusat pelatihan ketrampilan dari perusahaan Jepang yang diserahi tanggungjawab membimbing perawat dan caregivers Indonesia itu.

"Kehadiran mereka sudah mulai diterima, bahkan mereka sebetulnya telah menjadi duta besar persahabatan bagi Indonesia dan Jepang," kata Kaneko saat menyampaikan hasil evaluasi sementara mengenai kemajuan mereka.

Kaneko menjelaskan para perawat dan caregivers Indonesia berlaku sopan, periang dan yang paling membuat para instruktur kagum adalah semangatnya untuk menyelesaikan program pelatihan yang berjalan selama enam bulan.

"Sebetulnya kami sempat mengkhawatirkan kondisi fisik dan mental mereka saat menjalani bulan puasa. Apakah mereka mampu untuk menyelesaikan pelatihan ini," kata Kaneko lagi.

Kekhawatiran para pengajar itu pun lantas berubah menjadi kekaguman, ketika para perawat dan caregivers Indonesia mampu melewatinya dengan baik. Apalagi setelah manajemen AOTS mengetahui bahwa di antara para perawat saling memberi semangat untuk terus belajar namun tetap sehat.

Para perawat itu merupakan gelombang pertama yang tiba sejak Agustus lalu dengan jumlah 208 orang, yaitu 104 perawat dan 104 caregivers. Semuanya disebar ke lima kota besar di Jepang, seperti Tokyo, Yokohama, Osaka, Nagoya dan Kobe. AOTS sendiri kebagian menangani sebanyak 149 orang (termasuk 45 caregivers), sedangkan sisanya menjadi tanggungjawab Japan Fondation.

Program yang ditangani lembaga pelatihan tersebut berfokus pada kemampuan untuk bisa hidup mandiri dan mampu beradaptasi dengan cepat di Jepang. Metode pelatihan yang diberikan antara lain percakapan bahasa Jepang sehari-hari, tukar-menukar pengalaman dengan perawat Jepang dan mengunjungi rumah sakit serta panti jompo. Selain itu diberi kesempatan untuk berbaur dengan masyarakat lokal melalui kegiatan "home stay" beberapa hari.

Sedangkan program ketrampilan lebih lanjut diserahkan kepada lembaga lain yang lebih khusus lagi, terutama dalam berfokus pada penyesuaian kehalian keperawatan.

Lebih jauh Kaneko melanjutkan bahwa untuk bisa lulus program dasar bergantung pada dua hal, yaitu semangat dari perawat itu sendiri dan dukungan dari lembaga tempat mereka berlatih keperawatan.


Beri semangat

Kunjungan Dubes Jusuf Anwar ke pusat pelatihan letrampilan AOTS di Yokohama itu memang bertujuan untuk memberikan semangat bagi para perawat dan caregiver Indonesia. Kedatangannya ke Yokohama Kenshu Center, yang khusus melatih para caregivers Indonesia, kontan saja mendapat sambutan hangat.

Dengan didampingi Ibu Lastrijah Jusuf Anwar, Kepala Fungsi Ekonomi KBRI Tokyo Riddwan Abas, dan Kepala Perwakilan Bank BNI cabang Tokyo Firman Wibowo, Dubes pun berkeliling kelas-kelas tempat para caregivers mengiktui pelatihan bahasa Jepang.

"Bagaimana keadaan kalian? Teruskan semangat juang kalian untuk bisa melewati ujian bahasa dan keperawatan ini. Saya senang mendengar laporan kalian sudah mulai bisa diterima masyarakat Jepang," kata Dubes Jusuf Anwar.

Usai makan siang, para caregivers itu pun lantas berkumpul di sebuah aula untuk mengikuti dialog sekaligus mendengarkan penjelasan langsung dari para caregivers. Umumnya para caregiver menyampaikan rasa kangennya kepada kondisi di tanah air, namun karena program pelatihan yang bersahabat serta makanan yang disajikan cukup memenuhi selera Indonesia cukup mengobati kerinduan akan kampung halaman.

Dalam pertemuan yang berlangsung akrab itu, para pekerja Indonesia umumnya menyatakan tidak terlalu mengalami persoalan yang berarti dan mereka tetap bersemangat untuk lolos ujian bahasa Jepang dan ujian keperawatan yang terkenal sulit.

Untuk menciptakan keakraban, Dubes sendiri lebih banyak membanyol sehingga mengundang tawa semua yang hadir, termasuk kalangan manajemen AOTS. Tentu saja setelah mereka mendengarkan terjemahan bahasa Indonesianya. Banyak lelucon dubes yang ternyata ampuh untuk membuat caregivers tertawa lepas bahkan hingga terpingkal-pingkal.

Pada kesempatan itu juga Dubes Jusuf Anwar tidak lupa membagi-bagikan majalah IYA (Indonesian Youth Association)-- tentang masyarakat Indonesia di Jepang-- kepada para caregivers dan manajemen AOTS.

"Ini sekedar oleh-oleh dan juga bisa menjadi jembatan komunikasi interaktif bagi kita semua," kata Dubes yang lansung disambut tepuk tangan meriah.


Sejumlah kekhawatiran

Sebelumnya, sejumlah kekhawatiran terus membayangi pengiriman tenaga perawat dan caregivers Indonesia ke Negeri Sakura, terutama dalam memahami bahasa dan kultur sosial masyarakatnya. Masyarakat Jepang sendiri boleh dibilang dalam beberapa hal tergolong konservatif atau tertutup.

Masalah sosial yang cukup peka adalah soal kesan orang asing yang tidak begitu bagus di mata sebagian warga Jepang. Pekerja asing dianggap mengambil lahan pekerjaan warga Jepang. Terlebih ditengah krisis ekonomi yang kini melanda Jepang.

Soal bahasa tampak lebih krusial. Menurut Elsi Dwi Hapsari, mahasiswa program doktor bidang keperawatan di Universitas Kobe, sekedar berbahasa Jepang bisa saja dicapai dalam waktu singkat, namun untuk membahas suatu penyakit yang sarat dengan istilah teknis memerlukan waktu yang lebih lama, minimal dua tahun.

Pandangan Elsi juga diamini oleh "sensei"-nya Profesor Dr. Hiroya Matsuo. Keduanya memandang perlu dilakukannya pemantauan serius terhadap program perawat Indonesia di Jepang agar bisa berjalan lancar, meski diakui sebagian rumah sakit Jepang telah mengakui kompetensi perawat Indonesia.

Saran melakukan tindakan monitoring nampaknya menjadi penting. Apalagi jika mengacu pada survai yang digelar tim riset Asia Center dari Universitas Kyushu, Fukuoka, Maret 2008, seperti dikutip Asahi Shimbun.

Menurut riset yang dipimpin Profesor Yoshichika Kawaguchi itu belum seluruh rumah sakit Jepang berkenan menerima perawat asing. Dari 1.600 rumah sakit yang disurvai (522 di antaranya memberikan respon), dan hanya 46 persen saja yang bersedia menerima. Artinya sebagian masih meragukan keahlian perawat asing.

Menurut Profesor Kawaguchi, masih enggannya sebagian rumah sakit di Jepang, karena minimnya informasi mengenai sistem penerimaan itu sendiri. Pemerintah Jepang diminta memberikan informasi serinci mungkin dan sesegera mungkin, serta melakukannya secara aktif. Hal itu penting agar masyarakat Jepang mengetahui bahwa tenaga terampil asing sudah sesuai standar keahlian Jepang.

Perawat dan caregivers Indonesia rata-rata menerima 160.000 yen atau setara Rp16 juta per bulan, dan dikontrak untuk tiga tahun hingga empat tahun.

Namun demikian, bagi Indonesia sendiri mulai diterimanya perawat dan caregivers oleh masyarakat Jepang paling tidak membuat kualitas keperawatan Indonesia semakin diakui secara internasional.

"Di masa depan, kita juga perlu membenahi masalah kepastian hukum, perlindungan tenaga kerja di luar negeri, dan standar upah yang layak. Pembenahan lembaga-lembaga keperawatan menjadi mutlak karena merupakan mesin pencetak bagi tenaga perawat berkualitas," ujar Dubes mengakhir wawancara.(*)

Oleh Oleh Benny S Butarbutar
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009