Tunis (ANTARA News) - Pasukan khusus Tunisia membunuh seorang pemimpin setempat Al-Qaeda di Islam Barat (AQIM) dalam gerakan mengakibatkan seorang pembantu utama pemimpin kelompok tersebut tewas, kata kementerian dalam negeri pada Minggu.

Pasukan keamanan membunuh Bilel Kobi, pembantu utama Abu Musab Abdul Wadud, dalam penyergapan di dekat perbatasan Aljazair saat dia menjalankan upaya menata kembali cabang AQIM di Tunisia setelah serangan udara Tunisia, kata pasukan keamanan pada Sabtu.

Okba Ibn Nafaa, cabang setempat AQIM, sebagian besar bersarang di pegunungan Semmama dan Chaambi di sepanjang perbatasan dengan Aljazair. Tentara berusaha membubarkan mereka selama beberapa tahun belakangan. Gerilyawan itu pada masa lalu melakukan serangan atas pos pemeriksaan dan kota terdekat.

Kementerian dalam negeri mengatakan pasukan mereka pada Minggu menemukan mayat seorang gerilyawan lain, yang tewas dalam garakan pada Sabtu.

"Teroris ini adalah warga Aljazair bernama Bechir Ben Neji dan dia adalah pemimpin Okba Ibn Nafaa di gunung Semmama," katanya. Pasukan keamanan tahun lalu membunuh sejumlah gerilyawan termasuk Mourad Chaieb dari Aljazair, mantan pemimpin Okba Ibn Nafaa.

Tunisia telah siaga sejak 2015 ketika gerilyawan membunuh puluhan wisatawan.

IS mengklaim serangan paling besar di Tunisia termasuk serangan di sebuah hotel dan sebuah serangan terhadap sebuah museum yang menewaskan puluhan turis pada tahun 2015 dan juga serangan oleh gerilyawan yang menyeberang dari Libya ke Tunisia pada tahun 2016.

Lebih dari 3.000 orang Tunisia telah pergi dalam beberapa tahun terakhir untuk bertempur bersama kelompok IS dan kelompok militan lainnya di Irak, Suriah dan Libya. Pihak berwenang berusaha mempersiapkan ancaman yang ditimbulkan akibat kembalinya mereka.

Sementara itu, ada pekan lalu, Polisi Tunisia bentrok dengan pengunjuk rasa menentang pemerintah di setidak-tidaknya lima kota, termasuk distrik ibu kota, Tunis. Peristiwa itu terjadi pada malam keempat unjuk rasa menentang langkah penghematan.

Unjuk rasa meletus di setidak-tidaknya 12 kota di Tunisia, di antaranya kota wisata Sousse dan Hammamet, menentang kenaikan harga dan pajak, yang diberlakukan pemerintah untuk mengurangi defisit, yang membengkak, dan memuaskan kreditor internasional.

Sementara Tunisia secara luas dipandang sebagai satu-satunya kisah sukses demokrasi di antara negara tempat Kebangkitan Arab terjadi pada 2011, telah muncul sembilan pemerintahan sejak saat itu dan tidak satu pun dari mereka mampu mengatasi masalah ekonomi, yang terus berkembang.

Eropa prihatin dengan ketidakstabilan di Tunisia, sebagian karena pengangguran telah memaksa banyak orang muda Tunisia untuk pergi ke luar negeri. Jumlah kapal penyelundup pengungsi ke Italia telah meningkat dan Tunisia juga telah menghasilkan jumlah gerikyawan terbesar yang menuju medan perang di Irak, Suriah dan Libya.

Kemarahan publik telah terbangun sejak 1 Januari, ketika pemerintah menaikkan harga bensin dan barang lainnya dan menaikkan pajak atas mobil, telepon, penggunaan internet dan akomodasi hotel sebagai bagian dari reformasi ekonomi tersebut.

Pada setahun lalu, pemerintah menyetujui pinjaman empat tahun dari Dana Moneter Internasional senilai sekitar 2,8 miliar dolar sebagai imbalan atas perubahan ekonomi, demikian Reuters melaporkan.

(Uu.SYS/G003/B002)

Pewarta: antara
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018