Jakarta (ANTARA News) - Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi ingin agar peran Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bisa ditingkatkan dengan memberikan data awal dan pendampingan terkait rencana pembangunan infrastruktur dan transportasi pemerintah.

Dalam diskusi di Kantor BMKG Jakarta, Jumat, Menteri Perhubungan mendorong agar BMKG bisa memiliki langkah antisipatif dengan memberikan segala informasi kepada pelaku sektor infrastruktur dan transportasi agar risiko bencana alam dapat diidentifikasi sebelum pembangunan dimulai.

"Kami mendorong BMKG agar memiliki peran lebih tinggi, mampu memberikan masukan-masukan dan data awal, memberikan pendampingan bagi pembangunan infrastruktur dan transportasi dengan memperhitungkan semua kejadian yang mungkin terjadi di daerah tertentu," kata Budi.

Menurut Budi, masyarakat harus mengubah anggapan bencana sebagai hukuman, padahal bencana alam tersebut bisa ditanggulangi. Contohnya pada pembangunan Bandara Kulon Progo di Yogyakarta di atas lahan rawan gempa dan tsunami yang dirancang agar tahan gempa hingga berkekuatan 8,8 Skala Richter (SR).

Ia menambahkan risiko bencana hidrometeorologis dalam sektor transportasi juga dapat diantisipasi jika sudah mengidentifikasi risiko-risiko dan kemungkinan yang terjadi.

Ada pun bencana hidrometeorologis merupakan bencana yang disebabkan oleh faktor iklim (climate) melalui siklus air (uap air, hujan, air permukaan, air tanah) dan angin di suatu tempat di permukaan bumi.

"Dengan memperhitungkan risiko yang benar, kita bisa merencanakan fungsi-fungsi bandara, pelabuhan, dan waduk lebih maksimal," ungkapnya.

BMKG menegaskan bahwa dampak negatif yang dibawa oleh bencana hidrometeorologis telah menelan dan terus mengancam keselamatan masyarakat di berbagai sektor kegiatan pembangunan.

Di sektor perhubungan, misalnya, data kecelakaan pesawat terbang secara nasional dari tahun 2013 hingga 2016 meningkat 4 kali lipat (BMKG, 2016) yang 60 persen di antaranya justru terjadi pada saat kondisi berawan.

Pada tahun 2007, kerugian oleh keterlambatan yang diakibatkan oleh kondisi cuaca mencapai 47 milyar dolar AS (NASA, 2007). Sementara itu di daerah DKI atau Jabodetabek, cuaca ekstrim selalu dikaitkan paling tidak dengan kemacetan yang panjang yang diderita oleh warga Jakarta.

BMKG mencatat El Nino 2015 menyebabkan kerugian mencapai Rp250 triliun atau setara dengan 0,2 persen PDB nasional, belum lagi dihitung akibat jangka panjang disebabkan oleh hirupan asap kebakaran hutan.

Pewarta: Mentari Dwi Gayati
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2018