Jakarta (ANTARA News) - Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo menekankan peluang untuk melonggarkan instrumen bunga acuan sudah sangat terbatas di 2018, sehingga Bank Sentral lebih mengandalkan kebijakan makroprudensial, dan instrumen non-bunga untuk memacu pemulihan pertumbuhan ekonomi.

Usai berbicara di Mandiri Investment Forum, Jakarta pada Rabu, Agus mengatakan otoritas moneter hanya memiliki "peluang tipis" untuk kembali menurunkan suku bunga acuan 7 Day Reverse Repo Rate dari level saat ini yang sebesar 4,25 persen, karena dinamika ekonomi global yang mengindikasikan kenaikan suku bunga acuan bank sentral negara-negara maju.

"Kita mempertimbangkan ketika negara negara maju sudah menaikkan suku bunganya, ekonominya kian pulih, juga faktor kenaikan harga minyak dunia," ujar Agus.

Bank Sentral terakhir kali menurunkan suku bunga acuan pada Oktober 2017, dari 4,5 ke 4,25 persen, karena inflasi yang terus menurun saat itu.

Pemangkasan suku bunga acuan itu juga melengkapi pelonggaran moneter yang terbilang agresif oleh BI sejak Desember 2015 hingga Oktober 2017 sebesar 200 basis poin. Namun, penurunan suku bunga acuan itu, belum diikuti dengan penurunan signifikan suku bunga di perbankan.

Saat menjadi pembicara di hadapan 600 investor tersebut, Agus juga mengungkapkan BI hanya akan mengandalkan instrumen non-bunga dan makroprudensial untuk menstimulus pemulihan pertumbuhan ekonomi.

Pelonggaran kebijakan makropudensial, kata Agus, di antaranya, akan diberikan pada tahun ini dengan memperluas perhitungan rata-rata Giro Wajib Minimum (GWM-Averaging) ke denominasi valas di bank umum, dan juga rupiah dan valas di bank syariah.

"Besaran GWM Averaging pun dinaikkan menjadi dua persen dari total GWM-Primer 6,5 persen terhadap Dana Pihak Ketiga untuk simpanan rupiah di bank umum," ujarnya.

Bank Sentral juga akan menerapkan rasio intermediasi makroprudensial dengan menambah perhitungan pembelian obligasi pada komponen pinjaman yang disalurkan perbankan. Kemudian, penyempurnaan GWM Sekunder untuk menjadi penyangga likuiditas makroprudnesial

Di sisi lain, Agus juga menyambut baik hasil penilaian IMF melalui Laporan Konsultasi Artikel IV untuk Indonesia 2017.

IMF menyebutkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2018 dapat mencapai 5,3 persen dan jangka menengah di 5,6 persen. Di salah satu skenarionya, IMF juga mengungkapkan potensi pertumbuhan Indonesia dapat mencapai 6,5 persen di 2022 jika reformasi struktural perekonomian dan reformasi di bidang lainnya dapat terus berjalan.

Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018