Jakarta (ANTARA News) - Jaksa mendakwa advokat Fredrich Yunadi bersama dengan dokter Rumah Sakit Medika Permata Hijau Bimanesh Sutarjo bekerja sama untuk menghindarkan ketua DPR Setya Novanto dari pemeriksaan dalam penyidikan perkara korupsi dalam pengadaan KTP-Elektronik.

"Terdakwa Fredrich Yunadi bersama dr Bimanesh Sutarjo melakukan rekayasa agar Setya Novanto dirawat inap di Rumah Sakit Medika Permata Hijau dalam rangka menghindari pemeriksaan penyidikan oleh penyidik KPK terhadap Setya Novanto sebagai tersangka perkara tindak pidana korupsi pengadaan KTP Elektronik (e-KTP)," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK Fitroh Rohcahyanto dalam sidang pembacaan dakwaan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.

Fredrich sebagai pengacara dari kantor advokat Yunadi & Associates menawarkan diri untuk membantu mengurus permasalahan hukum yang dihadapi oleh Setya Novanto karena sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan KTP-E 2011-2012 berdasarkan Surat Perintah Penyidikan No Sprin.Dik-113/01/10/2017 per 31 Oktober 2017.

"Terdakwa memberikan saran agar Setya Novanto tidak perlu datang memenuhi panggilan penyidik KPK dengan alasan untuk proses pemanggilan terhadap anggota DPR harus ada izin dari Presiden, selain itu untuk menghindari pemanggilan tersebut, terdakwa akan melakukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi sehingga Setya Novanto menyetujui terdakwa sebagai kuasa hukumnya sebagaimana surat kuasa tertanggal 13 November 2017," tambah jaksa Fitroh.

Pada 14 November 2017, Fredrich mengatasnamakan kuasa hukum dari Setya Novanto mengirimkan surat kepada Direktur Penyidikan KPK yang intinya Setya Novanto tidak dapat memenuhi panggilan dari Penyidik KPK dengan alasan masih menunggu putusan uji materi MK yang telah diajukan, padahal Fredrich baru mendaftarkan permohonan tersebut pada hari itu.

Pada 15 November 2017 Novanto tidak datang memenuhi panggilan Penyidik KPK untuk diperiksa sebagai tersangka sehingga sekitar pukul 22.00 WIB Penyidik KPK melakukan upaya penangkapan dan penggeledahan di rumah Setnov yang beralamat di Jalan Wijaya XIII Nomor 19 RT.003/RW.003 Kebayoran Baru, Jakarta SeIatan.

Saat itu Penyidik KPK tidak menemukan Setya Novanto namun bertemu dengan Fredrich, yang menanyakan surat tugas, surat perintah penggeledahan dan surat penangkapan Setya Novanto.

"Setelah penyidik KPK memperlihatkan surat-surat yang dimaksud namun terdakwa tidak bisa memperlihatkannya sehingga terdakwa lalu meminta kepada Deisty Astriani (istri Novanto) untuk menandatangani Surat Kuasa atas nama keluarga Setnov yang baru dibuat terdakwa dengan tulisan tangannya," ungkap jaksa.

Saat ditanya mengenai keberadaan Setya Novanto, Fredrich juga mengaku tidak mengetahui padahal sebelumnya ia menemui Novanto di gedung DPR dan saat penyidik KPK datang, Setya Novanto sudah lebih dulu pergi dari rumah bersama Azis Samual dan Reza Pahlevi (ajudan Novanto) menuju Bogor dan menginap di Hotel Sentul sambil memantau perkembangan situasi melalui televisi. Keesokan harinya Setya Novanto kembali lagi ke Jakarta menuju gedung DPR.


Upayakan Rawat Inap


Pada 16 November 2017 sekitar pukul 11.00 WIB, Fredrich menghubungi dr Bimanesh Sutarjo yang sebelumnya telah dikenal untuk meminta bantuan agar Setnov dapat dirawat inap di RS Medika Permata Hijau dengan diagnosa menderita beberapa penyakit, salah satunya adalah hipertensi.

Untuk menegaskan permintaan itu, Fredrich sekitar pukul 14.00 WIB datang menemui dr. Bimanesh Sutarjo di kediamannya di Apartemen Botanica Tower 3/3A Jalan Teuku Nyak Arief Nomor 8 Simprug, Jakarta Selatan, untuk memastikan Setya Novanto dirawat inap di RS Medika Permata Hijau.

"Terdakwa juga memberlkan foto data rekam medik Setnov di RS Premier Jatinegara yang difoto terdakwa beberapa hari sebelumnya padahal tidak ada surat rujukan dari RS Premier Jatinegara untuk dilakukan rawat inap terhadap Novanto di rumah sakit lain," tambah jaksa Kresno Anto Wibowo.

Dr Bimanesh Sutarjo pun menyanggupi meski tahu Setya Novanto sedang berkasus di KPK. Dia lalu menghubungi dr Alia yang saat itu menjabat sebagai Plt. Manajer Pelayanan Medik RS Medika Permata Hijau untuk menyiapkan ruang VIP rawat inap atas nama Setya Novanto yang direncanakan masuk rumah sakit dengan diagnosa penyakit hipertensi berat padahal dr Bimanesh Sutarjo belum pernah melakukan pemeriksaan fisik terhadap Novanto.

Selain itu dr Bimanesh Sutarjo juga menyampaikan kepada dr. Alia bahwa dia sudah menghubungi dokter lainnya, yakni dr. Mohammad Toyibi dan dr Joko Sanyoto untuk melakukan perawatan bersama terhadap pasien bemama Setya Novanto padahal kedua dokter tersebut tidak pernah diberitahu oleh dr Bimanesh Sutarjo.

Permintaan ditindaklanjuti dr Alia yang menghubungi Direktur RS Medika Permata Hijau dr Hafil Budianto Abdulgani guna meminta persetujuan rawat inap untuk Setya Novanto, namun Hafil mengatakan agar tetap sesuai prosedur yang ada yaitu melalui Instalasi Gawat Darurat (IGD) terlebih dahulu untuk dievaluasi dan baru nanti bisa dirujuk ke dokter spesialis oleh dokter yang bertugas di IGD.

Permintaan dr Bimanesh itu juga disampaikan dr. Alia kepada dr. Michael Chia Cahaya, yang saat itu bertugas sebagai dokter jaga di IGD, bahwa akan masuk pasien dari dr Bimanesh Sutarjo bernama Setya Novanto dengan diagnosa sakit hipertensi berat.

Sekitar pukul 17.00 WIB, Fredrich memerintahkan stafnya dari kantor advokat bernama Achmad Rudiansyah untuk manghubungi dr. Alia guna mengecek kamar VIP di RS Medika Permata Hijau dan sekitar pukul 17.45 WIB Rudiansyah dan dr Alia Shahab malakukan pengecekan kamar VIP 323 yang sudah dipesan untuk Setya Novanto.

"Sekitar pukul 17.30 WIB terdakwa juga datang ke RS Medika Permata Hijau menemui dr. Michael di ruang IGD meminta dibuatkan surat pangantar rawat inap atas nama Setnov dengan diagnosa kacelakaan mobil, padahal saat itu Novanto sedang barada di Gedung DPR RI barsama dangan Reza Pahlevi dan Muhammad Hikman Mattauch (wartawan Metro TV). Atas permintaan tarsebut dr Michael menolak," jelas jaksa.

Dokter Michael menolak karena untuk mangeluarkan surat pengantar rawat inap dari IGD harus dilakukan pameriksaan dahulu terhadap pasien. Fredrich lalu menemui dr.Alia dan meminta alasan masuk rawat inap Setya Novanto yang semula adalah penyakit hipertensi diubah dangan diagnosa kecelakaan.

Sekitar pukuI 18.30 WIB, dr Bimanesh datang ke RS Medika Permata Hijau menemui dr Michael, menanyakan keberadaan Setya Novanto di ruang IGD yang dijawab bahwa Setya Novanto belum datang dan hanya Fredrich selaku pangacara Setya Novanto yang datang meminta surat pangantar rawat Inap dari IGD dengan keterangan kecelakaan mobil namun ditolak dr Michael karena dia belum memeriksa Setya Novanto.

Dokter Bimanesh kemudian membuat surat pengantar rawat inap manggunakan form surat pasian baru IGD, padahal dia bukan dokter jaga IGD.

Pada surat pengantar rawat inap itu, dr Bimanesh menuliskan diagnosis hipertensi, vertigo dan diabetes melitus, serta membuat catatan harian dokter yang merupakan catatan hasil pemeriksaan awal terhadap pasien padahaI dr Bimanesh belum pernah memeriksa Setya  Novanto dan tidak mendapatkan konfirmasi dari dokter yang menangani Setya Novanto sebelumnya di RS Premier Jatinegara.

Sekitar pukul 18.45 WIB, Setya Novanto tiba di RS Medika Permata Hijau dan langsung dibawa ke kamar VIP 323 sesuai dengan Surat Pengantar Rawat Inap yang dibuat dr Bimanesh.

Dr Bimanesh lalu memerintahkan Indri (perawat) agar surat pengantar rawat inap dari IGD yang telah dibuatnya dibuang dan diganti baru dengan surat pengantar dari Polisi yang diisi oleh dr Bimanesh untuk pendaftaran pasien atas nama Setya Novanto di bagian administrasi rawat inap padahal sore itu bukan jadwal praktek dr. Bimanesh.


Pura-pura tak tahu

Setelah Setya Novanto dirawat inap, Fredrich memberikan keterangan di RS Medika Permata Hijau kepada wartawan seolah-olah tidak mengetahui kecelakaan mobil yang dialami Setya Novanto dan baru mendapat informasi Setya Novanto dirawat inap di RS Medika Permata Hijau dari Reza Pahlevi. Padahal sebelumnya Fredrich lebih dahulu datang ke RS Medika Permata Hijau untuk mengupayakan Setya Novanto dirawat inap karena kecelakaan.

"Terdakwa juga memberikan keterangan kepada pers bahwa Novanto mengalami luka parah dengan beberapa bagian tubuh, berdarah-darah serta terdapat benjolan pada dahi sebesar bakpao, padahal Setnov hanya mengalami beberapa luka ringan pada bagian dahi, pelipis kiri dan leher sebelah kiri serta lengan kiri," jelas jaksa.

Sekitar pukul 21.00 WIB Penyidik KPK datang ke RS Medika Permata Hijau mengecek kondisi Novanto, yang ternyata tidak mengalami luka serius, namun Fredrich menyampaikan bahwa Setya Novanto sedang dalam perawatan intensif dari dr Bimanesh sehingga tidak dapat dimintai keterangan.

Fredrich juga meminta Mansur (satpam RS Medika Permata Hijau) menyampaikan ke penyidik KPK untuk meninggalkan ruang VIP di lantai 3 yang sebagian kamarnya sudah disewa keluarga Setya Novanto dengan alasan mengganggu pasien yang sedang beristirahat.

Pada 17 November 2017, penyidik KPK hendak melakukan menahan Setya Novanto setelah berkoordinasi dengan tim dokter di RS Medika Permata Hijau yang secara bergantian memeriksa kondisi Setya Novanto.

Namun Fredrich menolak penahanan tersebut dengan alasan tidak sah karena kliennya sedang dalam kondisi dirawat inap, padahal setelah Setya Novanto dirujuk dari RS Medika Permata Hijau ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan diperiksa oleh Tim dokter dari Ikatan Dokter indonesia (IDI), disimpulkan bahwa dia dalam kondisi layak untuk menjalani pemeriksaan penyidikan oleh penyidik KPK dan tidak perlu rawat inap.

Selanjutnya Novanto pun dapat dibawa dari rumah sakit ke kantor KPK untuk dimintai keterangan sebagai tersangka dan ditahan di rutan KPK.

Terhadap perbuatan tersebut, Fredrich didakwa dengan pasal 21 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU no 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat 1 KUHP

Pasal itu mengatur mengenai setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018