Oleh Askan Krisna Jakarta (ANTARA News) - Dengan jamuan santap lobster dan memancing, Presiden Amerika Serikat (AS), George W. Bush, dan Presiden Rusia, Vladimir Putin, pada Senin, memulai pertemuan puncak mereka di kediaman keluarga Bush di Kennebunkport, Maine, AS. Kedua kepala negara dan kepala pemerintahan, yang belakangan ditegangkan oleh rencana-rencana AS untuk membangun perisai anti-rudal di Eropa Timur, termasuk di negara-negara bekas sekutu Rusia semasa Uni Sovyet, diduga membahas berbagai masalah dunia mencakup persoalan nuklir Iran, Korea Utara, dan rencana perisai anti-rudal AS itu sendiri. Para pengamat berpendapat, undangan kepada Putin ke kediaman keluarga Bush, yang telah berumur seabad itu, jelas menunjukkan upaya serius Bush untuk memperbaiki hubungan dengan Rusia, setelah Perang Dingin berakhir. Tak dapat ditutup-tutupi bahwa meskipun Perang Dingin sudah berakhir, kedua negara adidaya tersebut masih menyimpan bara kecurigaan, dan beberapa kebijakan luar negerinya saling bertentangan. Rusia berkali-kali mengungkapkan kecurigaannya terhadap pembangunan perisai anti-rudal di Eropa Timur, yang bukan tak mungkin suatu ketika juga ditargetkan terhadapnya, meskipun menurut Washington hal itu ditujukan kepada negara-negara yang mereka sebut sebagai "negara bajingan" seperti Iran. Kedua negara juga saling bertentangan dalam masalah Kosovo. Dalam hal ini, Washington mendukung kemerdekaan Kosovo dari Serbia, sedangkan Moskow bersikap sebaliknya. Bush pernah menuding bahwa Rusia telah menyempal dari reformasi demokrasi, sementara itu Putin acapkali tak sepakat dengan kebijakan luar negeri AS termasuk di Irak. Rencana AS menggelar sistem pertahanan rudal di Republik Ceko dan Polandia telah membuat marah Moskow, dan menyulut perdebatan panas antara kedua pihak. Kremlin memandang sistem itu sebagai ancaman keamanan nasionalnya, sedangkan Washington berkeras sistem pertahanan rudal tersebut ditujukan untuk "menanggulangi potensi ancaman rudal balistik Iran". Bush menginginkan perisai rudal untuk melindungi diri dari kemampuan rudal dan nuklir Iran, yang dinilainya kian meningkat, sementara Rusia memandang sistem tersebut sebagai ancaman terhadap simpanan rudal nuklirnya. Rusia juga tak sependapat dengan AS mengenai ancaman Iran. Ajukan Tawaran Putin telah berusaha meredakan ketegangan. Pada awal bulan ini, dia mengajukan tawaran kepada Bush meliputi penggunaan tempat radar Rusia di Azerbaijan, bukannya membiarkan Washington membangun kesatuan tempur baru di Republik Ceko. Tapi, Bush belum menanggapi atau menampik usul itu. Sementara itu, kalangan pejabat Rusia memperingatkan, penolakan tawaran kompromi Putin akan menambah kuat pandangan Kremlin bahwa rencana rudal AS benar-benar dirancang untuk menghadapi pertahanan Rusia. Laporan-laporan kantor berita sebelumnya menyatakan, Bush juga akan minta dukungan Putin bagi sanksi-sanksi yang diperluas terhadap Iran, menyangkut program nuklirnya. Negara-negara Barat mencurigai Iran sedang berusaha membuat senjata nuklir dan menyerukan negara itu menghentikan kegiatan pengayaan uraniumnya. Teheran menegaskan bahwa program nuklirnya bertujuan damai, memproduksi tenaga listrik. Karena itu pula Iran mengabaikan dua resolusi Dewan Keamanan PBB sebelumnya yang mengenakan sanksi-sanksi menyangkut kegiatan pengayaan uranium. Iran akhir pekan lalu menyatakan tak takut menghadapi sanksi-sanksi terbaru berkaitan dengan program nuklirnya. Alasannya, masyarakat internasional tak bisa didikte. "Iran menjadi negara nuklir dan kemampuan atom Iran tak bisa ditarik mundur. Mereka tak bisa menyakiti kami," kata Presiden Iran Ahmadinejad. Rusia dan AS juga merupakan mitra dalam perundingan enam-negara mengenai penutupan program nuklir Korea Utara, salah satu negara yang juga dianggap sebagai ancaman. Enam negara, Rusia, AS, China, jepang, Korea Selatan dan Korea Utara telah mencapai kesepakatan pada Februari lalu di Beijing untuk menghentikan dan menutup reaktor nuklir serta program nuklir Utara. Untuk itu Pyongyang mendapat imbalan bantuan energi. Kekhawatiran terhadap AS juga merebak di Eropa. Setidaknya, hal ini tergambar dari satu survei yang dilakukan suratkabar the Financial Times, di London. Hasil jajak pendapat yang dilakukan Hariss Interactive menunjukkan sebagian besar negara Eropa memandang AS sebagai ancaman terhadap stabilitas global, daripada Iran dan Korea Utara sekaligus. Hasil survei itu menunjukkan, 32 persen dari sekitar 5.000 responden di lima negara Eropa; Inggris, Prancis, Jerman, Italia dan Spanyol, memandang AS sebagai ancaman terbesar terhadap stabilitas keamanan. Peringkat berikutnya adalah China 19 persen, kemudian disusul Iran 17 persen, Irak 11 persen, Korea Utara sembilan persen dan Rusia lima persen. Sebaliknya, seperempat dari responden AS menganggap Korea Utara sebagai ancaman terbesar, disusul oleh Iran (23 persen), China (20 persen), dan AS (11 persen). (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007