Jakarta (ANTARA News) - Linkage program Bank Indonesia (BI) sebagai salah satu program yang terdapat dalam pilar pertama Arsitektur Perbankan Indonesia (API) untuk membangun kerjasama antara bank umum dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) untuk membiayai UMKM, dinilai belum padu dalam pelaksanaannya. "Bank umum dalam program tersebut masih mendua, mereka (bank umum) selain bekerjasama dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) untuk membiayai usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) juga masih beroperasi sendiri (menyalurkan kredit) di wilayah BPR tersebut," kata Direktur BPR Karya Bhakti Ugahari Medan Katharina Simbolon dalam sambutan penandatanganan kerjasama dalam rangka linkage program di Gedung BI Jakarta, Rabu. Hal ini, menurut dia, menjadi hambatan bagi BPR dalam mengembangkan diri karena harus bersaing dengan bank umum tersebut dalam melakukan pembiayaan terhadap UMKM. Ia mengatakan, saat ini BPR dalam memperoleh permodalan dari bank umum melalui program linkage program terkena biaya modal sebesar 14 persen/tahun. "Sedangkan kita menyalurkan ke debitur dengan bunga sebesar 27 persen per tahun menurut hitung-hitungan kami dengan sistem jemput bola ke nasabah dan hitungan harian," katanya. Ia menambahkan selisih bungan yang cukup tinggi ini tentu saja merepotkan bila bank umum juga beroperasi di wilayah BPR. Selain itu ia mengatakan, belum adanya standarisasi prosedur linkage program tersebut mengakibatkan tidak seragamnya cara penyaluran kredit dari bank umum. "Bila berganti pimpinan maka seringkali ganti kebijakan, tentu ini menjadi masalah," katanya. Ia menambahkan dalam rangka pengembangan ke depan berharap agar bank umum menurunkan tingkat bunganya menjadi 12 persen sesuai dengan suku bunga maksimal deposito yang dijamin lembaga penjamin simpanan (LPS). "Sehingga kita juga bisa menurunkan suku bunga," katanya. Direktur Utama BPR Gunung Kawai sekaligus Ketua Persatuan Bank BPR Indonesia (Perbarindo) Said Hartono mengatakan hal tersebut memang masih menjadi ganjalan. Selain itu ia mengatakan, di lapangan juga sering terjadi tumpang tindih penyaluran kredit kepada para pengusaha UMKM. Menurut dia seringkali para pengusaha UMKM yang telah mendapatkan kredit dari satu BPR juga mendapatkan kredit lagi dari BPR atau bank umum lain. Berbeda dengan BPR, BPR Syariah (BPRS) menurut Direktur Harta Insan Karimah Bekasi OP Yepri, tumpang tindih antar bank umum syariah dengan BPRS selama ini tidak terjadi. "Jadi kita telah berkomitmen jika pinjaman kredit di bawah Rp50 juta maka bank umum syariah akan mengopernya kepada BPRS Syariah," katanya. Ia mengatakan, masalah yang terjadi dalam linkage program dengan bank umum syariah adalah belum adanya keseimbangan dalam menangani nasabah bermasalah. "Ketika ada nasabah yang bermasalah kita seringkali harus menutupi kredit tersebut dulu untuk mempertahankan kinerja BPRS," katanya. Ia mengatakan untuk bagi hasil antara bank umum syariah dengan BPRS setara dengan bunga 14 persen. Sedangkan untuk ke masyarakat ia mengatakan setara dengan bunga 16-17 persen. Sementara itu, hari ini (4/7), ditandangani Surat Pemberitahuan Persetujuan Pemberian Kredit (SP3k) antara bank umum dengan BPRS dalam rangka linkage program dengan nilai plafon kredit Rp699 miliar. Panandatanganan yang berlangsung di gedung BI tersebut dilakukan oleh 15 bank umum dengan 228 BPR dan BPRS. "Total plafon penyaluran kredit dalam rangka linkage program ahingga saat ini telah mencapai Rp2,9 triliun," kata direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI, Halim Almasyah. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007