Jakarta (ANTARA News) - Lembaga Institute for Development and Finance (Indef) memperingatkan pemerintah tentang kemungkinan bahaya krisis ekonomi kedua menyusul situasi yang tidak lebih baik dari kondisi pra krisis ekonomi 1997-1998. "Kita tidak hendak menakut-nakuti, tapi pesan kami jelas bahwa kita harus siap. Kalau hanya debat apakah akan krisis atau tidak, kita akan kehilangan momentum untuk mencegah atau menanggulangi krisis yang mungkin terjadi," kata salah satu anggota tim Indef, Iman Sugema dalam konferensi pers kajian tengah tahun Indef 2007 di Jakarta, Kamis. Dia mencontohkan hal yang harus diwaspadai adalah terjadinya "bubble" (penggelembungan) pada pasar modal, terjadinya disintermediasi perbankan, membengkaknya beban SBI, dan tingginya rasio utang. "Dalam tiga tahun terakhir, aliran modal masuk mencapai lebih dari 4 miliar dolar AS. Sementara sektor riil kalah menarik," katanya. Disintermediasi perbankan akibat ekstra hati-hatinya perbankan, ujarnya, menyebabkan terjadinya pembengkakan pada SBI hingga mencapai Rp300 triliun. "Coba bayangkan apa yang terjadi kalau semua perbankan menarik dana SBI mereka, ini bakal jadi masalah bagi BI meski mereka punya cadangan devisa 52 miliar dolar AS," katanya Dia menyebutkan, sisi sosial politik kita saat ini juga cenderung rentan, seperti kemiskinan yang mencapai 37 juta penduduk, angka pengangguran 10,54 persen, dan pemerintahan yang tidak efektif. "Saking tidak efektifnya, pemerintah Indonesia dikenal sebagai `the largest NGO in the world` (LSM terbesar di dunia)," tuturnya. Dalam kesempatan itu, dia mengusulkan agar pemerintah dapat melakukan beberapa langkah antisipasi seperti sinkronisasi persepsi kabinet dan DPR. Untuk pencegahan krisis, katanya, pemerintah harus menyiapkan paket perlambatan aliran modal masuk, menukar SBI dan SPN, memberi insentif bagi perusahan "go public", dan membuka akses sektor riil. Sementara itu, anggota tim Indef lainnya Bustanul Arifin mengatakan perekonomian Asia kini dalam tekanan, seperti terlihat pada beberapa indikator seperti, pembentukan modal tetap bruto, dan kredit yang melambat dijumpai di semua negara di Asia. Demikian pula, jelasnya, kemiskinan dan ketimpangannya meningkat di negara-negara Asia, seperti di Indonesia rasio gini meningkat dari 0,31 menjadi 0,36 pada 2006, dimana 20 persen masyarakat ekonomi kelas atas kekayaannya makin meningkat. Rasio Gini merupakan salah satu indikator yang biasa digunakan untuk menunjukkan ketimpangan pendapatan di suatu daerah. Semakin besar angka rasio Gini, semakin tinggi ketimpangan pendapatan masyarakat di daerah tersebut. "Pernyataan Menkeu (Sri Mulyani Indrawati) dulu itu sebetulnya benar. Dia itu akademisi yang bisa cukup jeli melihat itu. Namun dia kan pejabat publik, jadi sulit mengemukakan kebenaran," katanya. Dan pengamat ekonomi, Aviliani pengembangan sektor riil membutuhkan sinkronisasi kebijakan antara pemerintah dan BI. "Beberapa kebijakan BI untuk UKM tidak diikuti oleh kebijakan pemerintah," ujarnya.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007