Jakarta (ANTARA News) - Organisasi Penerbangan Sipil International (ICAO) meminta Indonesia untuk membatasi pertumbuhan industri penerbangan guna memudahkan pengawasan, khususnya aspek keamanan dan keselamatan penerbangan (safety). "ICAO meminta kami membatasi pertumbuhan. Artinya, operator saat ini sudah terlalu banyak, sementara armada kurang. Ini dikhawatirkan pengawasan safety tidak maksimal," kata Dirjen Perhubungan Udara, Dephub, Budhi M. Suyitno saat dihubungi di Jakarta, Kamis. Menurut Budhi, permintaan ICAO tersebut disampaikan oleh Presiden ICAO Roberto Kobeh Gonzales dalam Strategic Summit on Aviation Safety 2-3 Juli di Bali yang dihadiri pemangku kepentingan internasional dan nasional. Menanggapi hal itu, kata Budhi, Indonesia yang diwakili Dirjen Perhubungan Udara, Dephub dalam pertemuan itu, menyadari harus mampu mengendalikan pertumbuhan industri ini agar safety senantiasa bisa diawasi. "Rasa aman di penerbangan adalah hak azazi manusia tertinggi," kata Budhi. Karena itu, tegasnya, upaya yang harus ditempuh adalah standar safety harus ditingkatkan antara lain mengharuskan bagi para pelaku industri, mulai pilot hingga teknisinya, harus benar-benar punya lisensi dan sertifikasi yang berlaku. Termasuk juga, ketika pesawat harus masuk bengkel perawatan maka ketentuan item yang harus diganti, benar-benar diganti hingga 100 persen. "Ketentuan pelatihan pilot harus sesuai jam terbang dan lainnya," katanya. Tentu saja, pengetatan tersebut adalah investasi yang sangat besar sehingga tak ada ruang bagi operator penerbangan untuk bermain-main dengan safety, sebab jika terjadi kecelakaan, semuanya "habis". Pengetatan tersebut, kata Budhi, juga akan diikuti oleh ketatnya persyaratan bahwa operator baru harus memenuhi kategori II. "Ini tentu sangat berat sehingga mereka yang benar-benar bagus dan kuat modalnya yang bisa lolos," kata Budhi. Jadi, Budhi meramalkan dalam satu atau dua tahun ke depan, sektor ini dengan sendirinya akan ada kelambatan karena untuk izin operasi (Air Operator Certificate/AOC) baru harus masuk langsung kategori II. "Tidak hanya itu, operator yang kecil kalau memang tidak siap dengan kondisi dan persyaratan itu otomatis harus beraliansi, merger atau mati dengan sendirinya akibat persaingan," katanya. Budhi juga menambahkan, nilai jual maskapai ke depan tidak lagi pada penampilan fisik, tetapi rasa aman, kenyaman dan keselamatan penerbangan. Artinya, safety harus jadi budaya perusahaan dan bagian dari promosi. Contohnya, maskapai sekelas Qantas, Australia, meski pramugarinya tua-tua, tetapi karena safetynya teruji, penumpangnya harus antri jauh-jauh hari untuk memperoleh layanannya. Menanggapi hal itu, Ketua DPP INACA Rusdi Kirana mengatakan, pihaknya tidak sependapat dengan pernyataan bahwa di Indonesia bakal terjadi overheating dan karena itu pertumbuhan harus dikendalikan. "Walau ICAO berpendapat di Indonesia bakal terjadi overheating, maskapai Indonesia akan tetap kompak menjaga pertumbuhan yang ada," kata Rusdi. Dirut Lion Air ini menegaskan, untuk Indonesia dengan negara kepulauan dan penduduk di atas 200 juta dan perekenomian yang terus berkembang setelah krisis, industri penerbangan tetap akan tumbuh. Rusdi menawarkan konsep agar maskapai domestik tidak egois dalam memenuhi investasi operasional seperti untuk pelatihan pilot dan teknisi. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007