Jakarta (ANTARA News) - Perhelatan "Pekan Presiden Penyair" yang di gelar dalam rangka memperingati hari ulang tahun "Presiden Penyair Indonesia" Sutardji Chalzoum Bachri (14-17 Juli) akan dimeriahkan pemutaran film perjalanan hidup Sutardji. "Film berdurasi 20 menit itu bercerita tentang profil Sutardji sejak di tempat kelahirannya di Riau hingga di Jakarta dan melibatkan keluarga besarnya sebagai narasumber dan pelaku," kata Ketua Panitia "Pekan Presiden Penyair", Asrizal Nur, di Jakarta, Kamis. Film tersebut rencananya akan diputar dalam malam puncak perayaan ulang tahun Sutarji pada Kamis (19 Juli) mendatang. Acara tersebut juga akan diisi dengan pidato kebudayaan oleh Ignas Kleden dan Sutardji, serta dihadiri sejumlah sastrawan dan tokoh-tokoh nasional. Asrizal mengatakan dalam film tersebut dikisahkan tentang keseharian Sutardji semasa muda di Riau, Pekanbaru, dan Tanjung Pinang, serta perjalanan karirnya sebagai seniman dan sastrawan. Narasumber utama dalam film ini adalah ibu dari Sutardji, Calzoum (97) yang dalam usia lanjut masih mengingat bagaimana masa kecil anak kelima dari 11 bersaudara itu. Sementara itu terkait acara "Pekan Presiden Penyair", Asrizal yang juga merupakan Ketua Yayasan Panggung Melayu sebagai penyelenggara acara mengungkapkan perhelatan itu akan dipusatkan di Taman Ismail Marzuki (TIM) Selama sepekan akan diisi acara Lomba Baca Puisi Internasional Piala Sutardji Calzoum Bachri, seminar, pameran foto koleksi pribadi Sutardji, dan panggung apresiasi. Total hadiah lomba baca puisi tingkat internasional tersebut memperebutkan hadiah uang tunai Rp15 juta, piala Sutardji Calzoum Bachri serta ziarah budaya ke makam Raja Ali Haji di Pulau Penyengat, Kota Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. "Sekarang ini telah 250 orang yang mendaftar lomba puisi, sebagain diantaranya berasal dari luar negeri," katanya. Selain lomba baca puisi, Pekan Presiden Penyair juga akan diisi dengan Seminar Internasional pada 19 Juli dengan menghadirkan 13 pembicara pakar sastra dari berbagai negara seperti V.Braginsky dari Rusia, Dato Kemala dari Malaysia, Koh Young-Hun dari Korea serta Suratman Markasan dari Singapura. Pakar sastra dan juga penanggung jawab seminar, Maman S Mahayana mengatakan seminar tersebut akan membahas karya-karya Tardji dari beragam sudut pandang sastra. "Seminar ini juga bertujuan mengetahui bagaimana pendapat mereka terhadap karya-karya Sutardji dalam peta perjalanan kesusastraan Indonesia," ujarnya. Dalam Pekan Presiden Penyair juga akan digelar Panggung Apresiasi Karya Sutardji yang menampilkan para menteri antara lain Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta, Menteri Pemuda dan Olah Raga Adyaksa Dault, para Bupati dan Walikota antara lain dari Tanjungpinang dan Bengkalis. "Kami juga sudah menyampaikan undangan resmi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena beliau juga memberi apresiasi positif di bidang sastra khsususnya puisi," ujar Asrizal. Sutardji Calzoum Bachri lahir di Riau, 26 Juni 1941. Ia adalah pujangga Indonesia terkemuka dan karyanya disebut-sebut melebihi pujangga Chairil Anwar. Sejak duduk di Sekolah Rakyat ia selalu menjadi bintang kelas hingga lulus SMA. Setelah Sutardji melanjutkan studinya ke Fakultas Sosial Politik Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran, Bandung. Pada mulanya Sutardji Calzoum Bachri mulai menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung, kemudian sajak-sajaknya dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana. Sutardji memberi warna baru di dunia sastra Indonesia melalui sajak-sajaknya. Dalam usianya 66 tahun ini, ia mengaku tak tahu akan berhenti menulis. "Saya akan terus menulis di atas kultur saya, selama masih ada daya, selama masih diberi kekuatan oleh Tuhan," ujarnya. Sejumlah sajak Sutardji telah diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation (Calcutta, India), Writing from the World (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan Ik wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters (1979). Pada tahun 1979, Sutardji dianugerahi hadiah South East Asia Writer Awards atas prestasinya dalam sastra di Bangkok, Thailand. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007