Jakarta (ANTARA News) - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jakarta, Jumat, menegaskan bentrok fisik antara warga sipil dan aparat marinir di desa Alas Tlogo, Pasuruan, Jawa Timur pada 30 Mei 2007 silam merupakan pelanggaran HAM yang serius. "Telah terjadi pelanggaran hukum yang mengakibatkan pelanggaran HAM yang serius," kata Ketua Komnas HAM, Abdul Hakim Garuda Nusantara. Hakim mengatakan kajian dan analisis berbagai keterangan, laporan, kesaksian, dan temuan di lapangan yang dilakukan oleh Tim Pemantauan Peristiwa Pasuruan berujung pada kesimpulan telah terjadi pelanggaran HAM yang serius dalam peristiwa tersebut. Menurut Hakim, dalam bentrok tersebut telah terjadi pelanggaran hukum berupa perampasan hak hidup. Berdasar data Komnas HAM, ada empat warga sipil yang terampas hak hidupnya, yaitu Mistin (25), Dewi Khadijah (20), Sutam (40), dan Rohmat (23). Komnas HAM menyatakan perampasan hak hidup ini merupakan pelanggaran HAM yang serius karena hak hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (nonderogable rights), seperti dinyatakan dalam UUD 1945, UU HAM, dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik 1966 yang telah diratifikasi melalui UU Nomor 12 Tahun 2005. Selain itu, Hakim juga menyatakan dalam peristiwa itu telah terjadi perlakuan yang kejam dan tidak manusiawi oleh anggota marinir. Perlakuan tersebut mengakibatkan luka di tubuh delapan warga sipil. Kedelapan warga itu adalah Chairul (3) mengalami luka tembak di dada, Misdi (42) mengalami luka di kaki kanan dan pinggul kanan, Abdul Rohman (30) mengalami luka tembak di bagian tangan kanan, Nasum (34) mengalami luka tembak di kaki kanan. Kemudian Satiran (50) mengalami luka tembak di kepala bagian belakang, Hermanto (22) mengalami luka tembak di bagian pinggul, Tosan (35) mengalami luka tembak di pelipis kanan, serta Asmat (40) mengalami luka akibat serpihan peluru di bagian rahang. Perlakuan yang kejam dan tidak manusiawi itu dinilai tidak sesuai dengan UU HAM, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, serta UU Nomor 5 tahun 1998 tentang ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau merendahkan Martabat Manusia. Komnas HAM juga menemukan pelanggaran hak atas rasa aman yang dialami oleh Samad, Munaji dan Saiful. Ketiga orang itu mengamai penyanderaan di bawah todongan senjata api. Ketika ditanya mengenai kemungkinan perubahan status dari pelanggaran HAM yang serius menjadi pelanggaran HAM berat, Hakim menegaskan sampai saat ini Komnas HAM belum menemukan indikasi bahwa kekerasan di Pasuruan itu dilakukan secara meluas dan sistematis. Faktor meluas dan sistematis, katanya, adalah unsur yang utama untuk menyatakan suatu kejadian disebut pelanggaran HAM berat. "Kami belum menemukan data-data yang dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan," katanya. Namun, katanya, Komnas HAM tetap mendesak Polisi Militer Angkatan Laut (Pomal) agar tetap menangani kasus itu secara transparan. Selanjutnya, kata Hakim, dalam penanganan di tingkat penyidikan masih ada kemungkinan ditemukannya unsur-unsur perencanaan atau kesengajaan dalam kejadian itu. Selain itu, Komnas HAM mendesak Laboratorium Forensik Mabes Polri Cabang Surabaya untuk melakukan uji balistik tentang kemungkinan ada tidaknya pantulan peluru. Komnas HAM juga mendesak agar TNI dan Pemerintah menanggung seluruh biaya pemakaman, perawatan serta ganti rugi kepada korban dan keluarga korban. Kemudian, menurut Hakim, TNI AL juga harus memberikan kesempatan kepada warga untuk tetap bertahan di kawasan itu sampai sengketa lahan selesai. "Karena lahan tersebut merupakan tempat mencari dan mempertahankan kehidupan mereka," kata Hakim.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007