Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia seyogyanya tidak berusaha meningkatkan rating (peringkat) popularitasnya yang kini kian merosot dengan isu-isu yang membahayakan persatuan dan kesatuan nasional. "Sebab, apa yang terjadi di republik ini tak lepas dari kaitan pesanan negara-negara superpower," kata mantan Ketua DPP Golkar, Pinantun Hutasoit, di Jakarta, Senin. Hal ini dia kemukakan sehubungan upaya pemerintah untuk meningkatkan kembali peringkat popularitasnya dengan memanfaatkan isu Suharto. Menurut Pinantun, penggunaan isu Suharto tidak tepat, karena rakyat kecil pada saat ini justru sedang bernostalgia pada era kejayaan penguasa Orde Baru itu, antara lain ditandai dengan listrik masuk desa, sistem irigasi yang baik, dan stabilitas politik serta ekonomi yang relatif terpelihara. "Kini, misalnya, pihak yang berwenang harus memahami betapa masyarakat di Medan marah, karena menerima kebijakan pemadaman listrik sampai tiga kali sehari. Ini kan sangat merugikan rakyat," ujarnya. "Jadi, saya rasa keliru kalau pemerintah hendak menaikkan pamor politiknya dengan mengangkat isu Suharto, karena yang dikhawatirkan hasilnya justru sebaliknya, rakyat marah," ucapnya. Jika itu terjadi, harga yang diterima pemerintah akan sangat mahal, karena jelas akan merapuhkan persatuan dan kesatuan nasional. "Jelas, itu tak perlu terjadi," tegasnya. Tokoh Ormas MKGR ini mengingatkan negara adidaya tak akan pernah memberikan kesempatan kepada bangsa Indonesia menemukan dan mengembangkan potensi ekonominya. "Karena kalau kesempatan itu ada, bisa dipastikan Indonesia akan menjadi negara raksasa." Syarat Indonesia menjadi raksasa di bidang ekonomi, menurutnya, sudah ada, yakni memiliki potensi kekayaan alam yang sangat besar, baik itu di darat maupun di laut, selain besarnya sumberdaya manusia. Kekurangan Indonesia hanyalah kemampuan teknologi dan modal untuk mengembangkan potensinya. Lepas dari kekurangan Suharto, Pinantun berpendapat dia telah menciptakan satu era pembangunan menuju negara industri yang kuat. Namun, negara superpower melihatnya itu berbahaya bagi kelangsungan hidupnya, dan berusaha menciptakan resesi ekonomi. "Untung saja, bangsa ini akhirnya sadar, bahwa bantuan IMF sebenarnya adalah perangkap, mereka bukan memberi obat yang menyembuhkan, tapi racun ekonomi politik sehingga bangsa ini kehilangan jati dirinya," katanya. Karena itu, banyak negara yang tak mau atau melepas hubungan dengan lembaga ini. Ia berpendapat ke depan, Indonesia perlu dipimpin orang kuat dengan arah dan tujuan pembangunan yang jelas, seperti yang dilakukan pemerintahan Suharto. "Tentunya, dengan menyingkirkan praktek-praktek yang tidak baik." Sebab, setelah jatuhnya penguasa Orde Baru itu, `kita banyak kehilangan jati diri dengan dalih demi demokratisasi dan HAM.` "Coba saja kita perhatikan, berkat demokratisasi dan HAM yang kebablasan, hampir tiap hari kita disuguhi tayangan-tayangan yang `mengerikan` di layar televisi kita. Padahal, semua itu akan berdampak pada generasi muda mendatang,` demikian Pinantun Hutasoit. (*)

Copyright © ANTARA 2007