Beijing (ANTARA News) - Pemerintah China pada tahun 1970-an pernah belajar dari Indonesia soal program Keluarga Berencana (KB) yang dinilai sukses dalam menekan angka kelahiran. China menilai keberhasilan program KB yang saat ini sedang berjalan di negara berpenduduk 1,31 miliar jiwa itu merupakan buah dari proses belajar dari Indonesia pada saat itu. "Kita pernah belajar dari Indonesia pada tahun 1970-an mengenai bagaimana cara menekan angka kelahiran di Indonesia dan kita banyak belajar dari Indonesia," kata Menteri Kependudukan Nasional dan Komisi Keluarga Berencana China Zhang Weiqing. Menurut Zhang, keberhasilan Indonesia dalam menjalankan program KB saat itu membuat China merasa perlu dan penting untuk belajar banyak dari Indonesia soal bagaimana mengatasi angka kelahiran yang kian membengkak. China, katanya, merasa perlu mengendalikan angka kelahiran karena dengan luas wilayah yang terbatas serta sumber daya alam (SDA) yang juga terbatas, apabila jumlah penduduk membengkak bisa menimbulkan kesenjangan sosial yang tajam. Tapi kini setelah lebih 30 tahun berlalu, giliran Indonesia yang merasa perlu belajar dari China, bagaimana bisa sukses dan berhasil dalam mengendalikan angka kelahiran di negaranya. Wakil Ketua Komisi IX DPR-RI Max Sopacua ketika melakukan studi banding ke China soal program KB menilai Indonesia kini dinilai sudah tertinggal dari China dalam kemajuan program KB, padahal negara itu justru pernah belajar program KB dari Indonesia. "Kita akui program KB di China saat ini berjalan sangat maju dan sekarang justru kita yang ingin belajar dari mereka," kata Max Sopacua Max mengatakan, masyarakat China saat ini sudah memiliki kesadaran sendiri mengenai pentingnya program KB bagi dirinya terutama keluarganya dalam menciptakan keluarga sejahtera dan berkualitas. Masyarakat China saat ini juga sudah mempunyai pikiran bahwa peningkatan kualitas anak dan keluarga adalah segala-galanya dan berupaya menjalankan program tersebut secara baik. Ia menilai, keseriusan pemerintah China dalam memajukan program KB sangat terlihat jelas dengan dibangunnya sejumlah sarana dan teknologi yang mendukung, di samping tak henti-hentinya melakukan kampanye. "Sangat disayangkan memang Indonesia kini sudah tertinggal dari China soal program KB," katanya. Dirinya mengakui, memang sangat banyak kendala dalam memajukan program KB di Indonesia karena seringkali terbentur dengan adat istiadat, budaya, serta agama yang menjadikan program itu tidak berjalan sebagaimana diharapkan. "Kendala lain adalah luasnya wilayah Indonesia yang pulaunya mencapai ribuan sehingga memerlukan anggaran yang tidak sedikit," katanya. "Sejak era reformasi 1998 gaung program KB secara perlahan sudah mulai pudar. Apalagi sejak adanya otonomi daerah," katanya. Kampanyekan Kebijakan Sama dengan Indonesia yang sempat mempopulerkan kampanye KB "dua anak cukup", ternyata menimbulkan inspirasi pula bagi Pemerintah China untuk membuat kampanye dan kebijakan, yaitu "Satu keluarga satu anak" (one family one child). Kebijakan "satu keluarga satu anak" (one family one child) yang dijalankan Pemerintah China dinilai mampu mengurangi jumlah angka kelahiran bayi sehingga jumlah penduduk negara itu tidak membengkak. "Kebijakan itu dinilai cukup berhasil untuk menekan angka kelahiran bayi di China. Itu sudah merupakan kebijakan jangka panjang Pemerintah China," kata Zhang Weiqing. Menurut Zhang, kebijakan tersebut masih tetap akan diberlakukan di sejumlah kota besar di China, seperti di Beijing, yang saat ini menghadapi angka penduduk yang kian bertambah. Untuk menerapkan kebijakan tersebut, katanya, pemerintah memberlakukan denda berupa membayar pajak kepada keluarga yang memiliki anak lebih dari satu. Masalahnya, kata Zhang, jumlah penduduk yang banyak akan menimbulkan masalah sosial, mengingat antara lain akan menyerap sumber daya alam (SDA) yang ada, sementara China memiliki SDA yang terbatas. "Kita mengenakan denda kepada keluarga yang ketahuan memiliki dua anak. Itu sudah menjadi keputusan bagi pemerintah Beijing," katanya. Ia mengatakan apabila jumlah penduduk tidak dikontrol dikhawatirkan akan menimbulkan kesenjangan sosial dan bukan tidak mungkin kualitas anak akan terabaikan. Meskipun demikian, katanya lebih lanjut, tidak semua kota atau provinsi di China memberlakukan kebijakan "satu keluarga, satu anak". "Ada beberapa kota dan provinsi di China yang tidak memberlakukan kebijakan itu terutama di daerah pedalaman yang penduduknya memang tidak banyak," katanya tanpa menyebutkan nama kota dan provinsi dimaksud. Zhang mengatakan keberhasilan pemerintah mengendalikan jumlah penduduk dinilai cukup berhasil dan hal ini pula yang ikut mendorong tumbuhnya ekonomi China saat ini. "Produk domestik bruto (GDP) China saat ini terus meningkat dan bahkan perekonomiannya mengalami kemajuan sangat pesat," katanya. Selain itu pula, dengan jumlah penduduk sekitar 1,3 miliar jiwa, sekitar 50 persennya sudah bisa dikatakan hidup layak dan sejahtera karena adanya kebijakan pengetatan pertumbuhan jumlah penduduk. Hidupkan Lagi Komisi IX DPR mencoba ikut menghidupkan lagi program Keluarga Berencana (KB) yang saat ini dinilai mengalami kemunduran sejak tahun 1998, sehingga minat masyarakat untuk mengikuti program itu akan tumbuh lagi. "Kita ingin tanamkan dahulu citra program KB di Indonesia yang saat ini mengalami kesulitan karena banyak masyarakat yang tidak ada lagi rasa memiliki," kata Max Sopacua. Ia menilai kemunduran program KB di Indonesia dibanding dengan China antara lain adanya perbedaan budaya, agama, dan sosial budaya antara kedua negara juga menyebabkan program KB di kedua negara itu mengalami perbedaan yang kian melebar. Ketika mengunjungi Klinik Pelayanan KB di Distrik Fengtai, Beijing, Max melihat sendiri bagaimana pendidikan soal program KB sudah ditanamkan Pemerintah China sejak usia dini kepada para remaja. Di klinik tersebut juga ditunjukkan bagaimana ditampilkan poster atau gambar mengenai pentingnya program KB bagi kesejahteraan keluarga dan untuk meningkatkan kualitas anak. Selain itu juga, ditampilkan sejumlah penjelasan mengenai alat kontrasepsi dan ruang pemeriksaan kehamilan serta konsultasi kepada para remaja dan ibu-ibu. "Saya lihat banyak remaja putri di China yang tidak malu-malu datang ke klinik KB baik untuk memeriksakan kehamilan atau sekedar ingin mengetahui informasi. Tapi di Indonesia masih hal yang tabu bagi remaja yang datang ke klinik KB," katanya. Ia mengaku sangat kagum dengan program KB di China yang begitu sangat menanamkan kesadaran bagi warganya untuk mendukung program itu. Klinik tersebut juga menyediakan praktek aborsi bagi ibu-ibu atau remaja belum menikah yang ingin menggugurkan kandungannya (aborsi). "Dari penjelasan yang saya terima, pemerintah China tidak melarang aborsi baik itu yang dilakukan ibu hamil maupun remaja putri yang hamil sebelum menikah. Pemerintah China menilai itu adalah urusan `pribadi` mereka," katanya. Masalah aborsi, katanya, juga menjadi masalah pelik di Indonesia karena sebagian pihak menentang keras upaya itu tapi sebagian pihak melegalkan sehingga sulit mencari titik temunya. Kepala BKKBN Sugiri Syarief mengatakan pihaknya akan mencoba lagi menghidupkan kembali program KB di seluruh daerah di Indonesia. "Sesuai dengan perintah Presiden (Susilo Bambang Yudhoyono, red), program KB harus dihidupkan lagi dan kita akan berupaya untuk itu," katanya. Ia mengakui, program KB saat ini "kendor" sejak adanya era otonomi daerah, karena masing-masing daerah diberi wewenang mengurusi program KB. "Saya sudah minta dukungan kepada Komisi IX DPR untuk bisa membantu BKKBN menghidupkan lagi program KB termasuk pihak-pihak terkait lainnya," kata Sugiri.(*)

Oleh Oleh Ahmad Wijaya
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007