Jakarta (ANTARA News) - Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakhrulloh menyampaikan keterangan sebagai saksi ahli dalam sidang gugatan eks organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Kamis.

Zudan hadir dalam kapasitasnya selaku ahli hukum administrasi negara, sebagai salah satu penyusun Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. "Saya salah satu penyusun Undang-undang Administrasi Pemerintahan," kata Zudan di Pengadilan Tata Usaha Negara.

Dalam sidang tersebut Zudan menjelaskan hal-hal terkait keputusan pejabat tata usaha negara serta kewenangan pejabat secara umum, yang secara tidak langsung menggambarkan legalitas pemerintah melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mencabut status badan hukum HTI.

Ia menjelaskan bahwa setiap keputusan tata usaha negara dapat dinyatakan sah apabila memenuhi tiga aspek. Pertama, tertib kewenangan yakni ditandatangani oleh pejabat yang diberikan kewenangan oleh undang-undang, kedua dibuat dengan prosedur yang sudah disepakati dalam institusi, dan ketiga memiliki substansi yang benar, tidak memuat cacat yuridis, tidak khilaf, tidak ada penipuan dan paksaan.

Dalam aspek keberlakuannya, ia menjelaskan, setiap keputusan yang telah dibuat pejabat tata usaha negara berlaku sesaat setelah ditandatangani. Sedangkan dalam aspek pemerintahan, ia melanjutkan, ketika ada perbedaan waktu antara tanggal ditandatangani dengan tanggal penyerahan, maka berlakunya ketika tanggal penyerahan terhadap subyek.

Zudan mencontohkan, ketika seorang bupati diberhentikan Menteri Dalam Negeri dan suratnya ditandatangani 1 januari 2018, maka pada saat itu bupati tersebut kehilangan kekuasaannya sebagai bupati, harus keluar dari rumah dinas, mengembalikan mobil dinas dan tidak boleh menandatangani semua dokumen.

"Meskipun bupati itu mengajukan gugatan ke PTUN, dan pada akhirnya ternyata pada bulan April dinyatakan menang, tapi dalam rentang 1 Januari ditandatangani hingga putusan PTUN bulan April itu dia tidak boleh menyebut dirinya sebagai bupati," kata Zudan.

Hal serupa, menurut dia, berlaku pada pencabutan sebuah badan hukum. Ketika sudah ditandatangani penetapan pencabutan badan hukumnya oleh pejabat tata usaha negara yang berwenang, maka baju atau status badan hukum suatu organisasi sudah terlepas dan yang tersisa hanya lah anggota-anggota atau mantan anggota badan hukum tersebut.

Dia menjelaskan, siapapun yang dirugikan atas keputusan pejabat tata usaha negara secara pribadi boleh mengajukan gugatan, termasuk anggota badan hukum, sepanjang merasa dirugikan.

Zudan lalu menjelaskan bahwa pejabat negara yang berwenang menilai adanya suatu pelanggaran norma adalah pejabat yang telah diberi kewenangan menerbitkan atau membuat keputusan terhadap suatu hal.

Ia mencontohkan, sebagai Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil dia berwenang dan bisa langsung mencabut KTP elektronik seorang warga ketika mengetahui bahwa warga tersebut menyerahkan dokumen palsu dalam pembuatan KTP elektroniknya.

"Saya tidak perlu menunggu ada putusan pengadilan untuk mencegah timbulnya kerugian negara. Kalau tidak segera dicabut, orang itu bisa keburu kabur, atau membuka rekening bank, meminjam kredit bank dan menimbulkan kerugian negara," jelas Zudan.

Hal sama berlaku dalam hal menilai sebuah perkumpulan. Menurut dia, pejabat yang berhak menilai sebuah badan hukum atau perkumpulan melanggar norma, adalah pejabat yang menerbitkan keputusan badan hukum tersebut.

"Misalnya saya menerbitkan KTP elektronik, tapi saya dapat bukti dari pihak imigrasi bahwa orang itu punya passport asing, maka atas dasar bukti itu KTP elektroniknya saya anggap batal, tidak perlu tunggu proses pengadilan," jelas dia.

Zudan menekankan sebuah keputusan tata usaha negara pasti tidak lahir serta merta, namun sudah melalui tahap pengkajian dan memiliki rasionalitas yang melatarbelakanginya.

Baca juga: Ahli hukum administrasi jelaskan dasar pembubaran HTI

Pewarta: Rangga Pandu Asmara Jingga
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018