Makassar (ANTARA News) - Dari sejumlah sumberdaya pesisir yang dimiliki Sulawesi Selatan, khususnya terumbu karang, sebagian besar atau sekitar 75 persen diantaranya telah hancur. Hal itu mengemuka dalam pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir di Gedung DPRD Sulsel, Rabu. Menurut salah seorang peneliti dari Pusat Penelitian terumbu Karang di Universitas Hasanuddin Makassar, Dr. Budimawan, pada umumnya, kerusakan ekosistem laut tersebut hancur akibat ledakan bom. Beberapa nelayan senang menangkap ikan dengan cara melakukan pemboman sehingga sejumlah habitat lainnya yang berada di sekitar kawasan lokasi pengeboman para nelayan tersebut hancur. Sementara itu, sejumlah ekosistem laut lainnya, seperti terumbu karang masih ada yang diselamatkan, itupun karena lokasinya berada di daerah pesisir yang dilindungi pemerintah sehingga agak menyulitkan bagi para nelayan untuk mencari nafkah kehidupan di sekitar lokasi tersebut. Menurut Budimawan, bila pemerintah setempat melakukan upaya pembiaran, dikhawatirkan keberlangsungan ekosistem laut akan punah. Sebab itu, upaya Ranperda yang mengatur tentang pengelolaan wilayah pesisir ini, dapat mencegah terjadinya kerusakan habitat laut yang juga diyakini akan berdampak pada kehidupan sekitarnya, khususnya para nelayan. Pasalnya, wilayah pesisir Sulsel ini, telah membentuk budaya tradisional masyarakat yang telah berlangsung terus-menerus selama bertahun-tahun dengan mengelola sumberdaya pesisir yang mencakup berbagai jenis ikan dan kerang-kerangan sebagai sumber protein hewani, mangrove, terumbu karang, padang lamun dan estuaria. Selain itu, wilayah pesisir tersebut juga menyediakan sumberdaya ekonomi untuk kegiatan perdagangan dan industri, sumber mineral, sumber energi, minyak dan gas bumi serta bahan-bahan tambang lainnya. Namun saat ini lanjut Budimawan, potensi sumberdaya pesisir secara alamiah itu, telah mengalami degradasi ekosistem terutama populasi ikan dan biota lainnya yang cukup terdapat di dalamnya sebagai akibat dari dampak laju pertumbuhan penduduk, kegiatan pembangunan fisik, peningkatan sampah organik dan anorganik serta kegiatan-kegiatan illegal dalam industri perikanan, pertambangan dan pembalakan. Budimawan juga menilai bahwa peningkatan konsumsi dan pemanfaatan sumberdaya pesisir yang berlebihan ini, tanpa mempertimbangkan aspek pelestarian lingkungannya, akan semakin menurunkan daya lingkungan dan nilai serta keberadaan potensi sumberdaya pesisir, sehingga mengancam potensi ekonomi dan sosial budaya yang terkandung di dalamnya. Hal ini, lanjutnya, tentu akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan rakyat. Masalahnya, sebagian masyarakat lokal yang berdomisili di wilayah pesisir di Sulsel katanya, adalah bermata pencaharian sebagai nelayan yang menggantungkan kehidupannya pada sumberdaya pesisir, khususnya kegiatan perikanan sebagai sumber pendapatan utamanya. Berkurangnya populasi ikan di perairan pesisir akhir-akhir ini, lanjut dosen Unhas ini, mengakibatkan hasil tangkapan nelayan semakin berkurang pula dan membuat nelayan terpaksa mencari ikan pada jarak yang semakin jauh melewati wilayah laut teritorial. Kondisi ini, katanya, dikhawatirkan akan dapat mengakibatkan konflik antar nelayan dari daerah lain. Sehingga dengan adanya sistem pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir secara terpadu ini, diharapkan masyarakat dapat lebih mudah memperoleh hasil tangkapan yang akan meningkatkan taraf hidupnya dan menghindari konflik antar nelayan. Hal senada dikatakan Kepala Bappeda Propinsi Sulsel Sangkala Ruslan bahwa pengaturan wilayah pesisir ini, perlu dilakukan agar jelas batas wilayah pemanfaatan laut misalnya wilayah pengembangan usaha rumput laut, tempat berlabuhnya kapal-kapal tradisional atau di daerah mana seharusnya nelayan dapat menangkap ikan tanpa harus merusak ekosistem laut lainnya dan terlibat konflik. Dalam Ranperda tentang wilayah pesisir tersebut, diatur penetapan batas wilayah laut yang menjadi kewenangan masing-masing pemerintah. Penetapan batas wilayah laut ini, katanya, untuk memisahkan yurisdiksi antara dua provinsi yang saling berhadapan, tergantung pada lebar ruang lautan diantara kedua tepi daratan. Dalam ranperda tersebut dijelaskan bahwa apabila lebar ruang lautan diantara kedua propinsi tersebut melampaui 24 mil laut, maka masing-masing provinsi menetapkan garis batas terluar pada jarak 12 mil laut yang ditarik sejajar dengan garis pangkalnya. Sedangkan, bila lebar ruang laut diantara kedua provinsi ternyata kurang dari 24 mil laut, maka batas wilayah laut kedua provinsi tersebut ditetapkan melalui penarikan garis tengah yang diukur sama jarak antara garis pangkal sepanjang pantai kedua propinsi itu. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007