Jakarta (ANTARA News) - Anggota Fraksi PDI Perjuangan di DPR, Aria Bima, di Jakarta, Selasa, mendesak pemerintah untuk menghentikan sementara pengalihan ketergantungan terhadap minyak tanah ke gas, menyusul kacaunya program tersebut belakangan ini, apalagi proyek bernilai Rp1,2 triliun itu belum mendapat persetujuan DPR RI. "Kami di Dewan meminta pemerintah agar menghentikan dulu program konversi minyak tanah ke elpiji, karena sarat persoalan. Terlebih konversi itu menimbulkan beragam gejolak di sejumlah wilayah. Selain itu, proyek yang merupakan kebijakan pemberian subsidi senilai Rp 1,2 triliun ini juga belum mendapat persetujuan legislatif," tegasnya kepada ANTARA. Pelaksanaan program ini, menurutnya, bisa dianggap melanggar Undang Undang (UU) Nomor 17/2006 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Aria Bima mempertanyakan berbagai langkah pemerintah terkait program pengalihan bahan bakar minyak tanah ke gas itu, karena sepertinya dilakukan terlalu tergesa-gesa, tanpa meminta masukan terlebih dulu dari publik melalui DPR. "Padahal dari segi kebijakannya sendiri, ini termasuk kebijakan anggaran yang merupakan hak DPR dan secara teknis masuk Komisi VII," tutur Aria Bima. Program konversi ke gas ini, seperti dijelaskan pemerintah di media massa beberapa waktu lalu, untuk menghemat subsidi bahan bakar minyak (BBM). Karena itu, sejumlah wilayah menjadi percontohan konversi ini, seperti Kampung Makassar di Jakarta Timur dan Desa Sukmajaya serta Abadijaya di Depok, Jawa Barat. Di Depok sebelumnya telah dibagikan 75 ribu kompor dan tabung gas gratis bagi warga. Namun, lantaran belum ada kebijakan DPR menyangkut pengalihan subsidi minyak tanah ke gas, menurut Aria Bima, proses monitoring pelaksanaannya pun tidak jelas. "Pelaksanaannya di lapangan juga terkesan tidak dipersiapkan dengan matang dan hanya ditangani Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), khususnya Direktorat Jenderal Minyak dan Gas. Apa selanjutnya Dirjen Migas menyerahkan implementasinya kepada Pertamina, kita tidak pernah tahu," ujar Aria Bima. Akibatnya, sejumlah wilayah yang menjadi percontohan konversi BBM justru mengalami kesulitan mendapatkan bahan bakar gas elpiji maupun minyak tanah. Gas elpiji seukuran tiga kilogram, sesuai volume tabung yang dibagikan pemerintah, belum terdistribusikan secara merata. Sementara pada saat yang sama, pasokan minyak tanah telah dihentikan Pertamina, atau bahkan ditarik kembali oleh BUMN ini. Humas Pertamina, Toharso, sendiri telah mengumumkan minyak tanah ditarik dari daerah percontohan konversi BBM, karena pada prinsipnya tak boleh ada dua barang bersubsidi yang dijual di tempat sama. "Seingat saya, dulu sempat muncul pemaparan ihwal rencana konversi di DPR. Namun belum sempat menghasilkan keputusan. Karena itu, jika sekarang ada program konversi minyak tanah ke gas, sebetulnya melanggar Undang Undang (UU) Nomor 17/2006 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)," ungkapnya. Kebijakan itu, tegas Aria Bima, mestinya dimasukkan ke dalam APBN-Perubahan. Bahkan, lanjut anggota Komisi VI DPR (Perdagangan) ini, jika pun legislatif akhirnya menyetujui rencana konversi BBM, pemerintah tetap perlu menjelaskan apa yang melatarbelakangi kebijakan konversi ini kepada parlemen. "Mestinya, sebelum konversi direalisasikan, perlu diperjelas dulu data kecamatan, kelurahan, dan nama serta alamat warga yang akan diikutsertakan," katanya. Sesudah data terkumpul dan diverifikasi, lanjut Aria Bima, baru tabung dan kompor gas dikirim, elpiji disalurkan, dan pasokan minyak tanah dihentikan. "Jadi semua berlangsung secara berurutan. Jika program konversi justru berakibat gejolak seperti sekarang, ini menunjukkan ketidakmampuan aparat pemerintah dan terkesan pelaksananaannya dipaksakan," tukasnya. Untuk itu, Aria Bima berpendapat, sebaiknya konversi dihentikan dulu dan dikembalikan saja pada kebijakan lama, yakni minyak tanah bersubsidi. (*)

Copyright © ANTARA 2007