Jakarta (ANTARA News) - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution meyakini Bank Indonesia bisa mengambil keputusan terbaik terkait penyesuaian suku bunga acuan untuk menekan perlemahan rupiah.

"Itu bagian dari menghadapi perubahan situasi global, termasuk soal kurs. Tapi biarkanlah BI mengambil jalan untuk menjawab persoalan," kata Darmin di Jakarta, Jumat.

Darmin mengatakan banyak cara yang bisa diambil untuk menjaga pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang saat ini cenderung mengalami perlemahan.

Namun, persoalan menjaga stabilitas kurs termasuk keputusan untuk menaikkan suku bunga acuan agar rupiah tidak lagi terdepresiasi terlalu dalam merupakan kewenangan bank sentral.

Melihat kondisi saat ini, Darmin optimistis rupiah tidak lagi bergejolak dalam menghadapi tekanan global karena proses stabilisasi yang dilakukan Bank Indonesia sedang berjalan.

"Tidak usah terlalu dianggap banyak masalah. Itu bukan akhir dari semuanya, ini semua masih panjang," ujarnya.

Sebelumnya, Bank Indonesia membuka ruang untuk menaikkan suku bunga acuan atau BI 7-Days Reverse Repo Rate (BI-7DRR) apabila tekanan terhadap nilai tukar rupiah terus berlanjut.

"Apabila tekanan terhadap nilai tukar terus berlanjut serta berpotensi menghambat pencapaian sasaran inflasi dan mengganggu stabilitas sistem keuangan, yang merupakan mandat Bank Indonesia, Bank Indonesia tidak menutup ruang bagi penyesuaian suku bunga kebijakan BI-7DRR," kata Gubernur BI Agus Martowardojo saat jumpa pers di Kantor Pusat BI, Jakarta, Kamis (26/4).

Kendati demikian, lanjut Agus, kebijakan untuk menaikkan suku bunga acuan tersebut akan dilakukan secara berhati-hati, terukur, dan bersifat data dependence, mengacu pada perkembangan data terkini maupun perkiraan ke depan.

BI memandang, depresiasi rupiah yang terjadi akhir-akhir ini lebih disebabkan oleh penguatan mata uang dolar AS terhadap hampir semua mata uang dunia (broad based). Penguatan dolar AS tersebut adalah dampak dari berlanjutnya kenaikan yield US Treasury atau suku bunga obligasi negara AS hingga mencapai 3,03 persen, tertinggi sejak 2013.

"Selain itu, depresiasi rupiah juga terkait faktor musiman permintaan valas yang meningkat pada triwulan II antara lain untuk keperluan pembayaran utang luar negeri dan pembiayaan impor, dan dividen," ujar Agus.
 

Pewarta: Satyagraha
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2018