Jakarta (ANTARA News) - Menjelang Hari Anak Nasional 23 Juli, Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) dan sebanyak 20 LSM mengajak masyarakat menyukseskan "Hari Tanpa Televisi 2007", dengan cara mematikan televisi selama satu hari pada Minggu (22/7) dan mengisinya dengan berbagai kegiatan bermain yang bermanfaat bagi anak. "Kami mengajak seluruh lapisan masyarakat yang peduli isi tayangan televisi yang tidak aman dan tidak sehat bagi anak-anak untuk menyatakan keprihatinan dengan mematikan televisi selama satu hari saja," kata anggoya YPMA, Nina M Armando, di Jakarta, Kamis. Upaya mengajak masyarakat menyukseskan program tersebut dilakukan dengan dua kegitan, yakni aksi damai di Bundaran Hotel Indonesia pada Jumat (20/7) siang dan menggelar beragam kegiatan alternatif "Hari Tanpa Televisi" pada Minggu (22/7) di Lapangan Monumen Nasional bersama anak-anak, orang tua, guru, dan sejumlah sekolah di Jakarta. Nina mengatakan televisi adalah media yang paling dominan dan paling berpengaruh bagi anak-anak, contohnya adalah dua anak korban meninggal dan puluhan lainnya terluka dan cacat akibat menirukan adegan dalam tayangan "Smack Down" beberapa waktu lalu. Televisi, lanjutnya, juga menjadi media yang paling dominan ditonton oleh anak-anak setiap harinya. Hasil penelitian YPMA pada 2006 terhadap 939 anak dari lima sekolah dasar di Jakarta dan Bandung menunjukkan bahwa anak-anak menonton televisi 3,5 jam sehari pada hari biasa dan lima jam sehari pada hari libur. "Anak menonton sekitar 30-35 jam seminggu, atau 4,5 jam sehari, sehingga dalam setahun mencapai kurang lebih 1.600 jam," katanya. Jika dibandingkan dengan waktu belajar, ternyata waktu anak belajar di sekolah tidak sebanyak waktu menonton televisi. Dari hasil penelitian YPMA, jumlah hari sekolah yang hanya 185 hari dalam setahun dengan lima jam per hari untuk kelas 4-6 SD dan tiga jam untuk kelas 1-3 SD menghasilkan angka rata-rata anak belajar di sekolah dalam setahun hanya 740 jam. "Fakta tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya anak-anak kita lebih banyak menghabiskan waktu di televisi dari pada belajar," ujar Nina. Dari puluhan program anak-anak di stasiun televisi, sebenarnya telah diberi label khusus sebagai panduan, yakni label BO (Bimbingan Orang Tua) atau SU (Semua Umur). Namun menurut Nina, pada kenyataannya masih banyak tayangan anak yang tidak sesuai untuk anak-anak. "Situasi pertelevisian kita dalam acara anak-anak setiap hari banyak yang berisi kekerasan, kekuatan supranatural, mistik, takhayul, dan terkait dengan seksualitas yang sebenarnya tidak baik untuk perkembangan jiwa anak," katanya. Banyak yang harus dijauhi Dosen bidang Ilmu Komunikasi FISIP UI ini mengatakan sebenarnya tidak semua program anak di stasiun televisi di Indonesia tidak layak di tonton anak-anak. Ada beberapa di antaranya direkomendasikan YPMA adalah tayangan yang memberikan contoh baik dan nilai-nilai positif, di antaranya Bocah Petualang di Trans7, Surat Sahabat di Trans TV, Ninja Boy di Indosiar, Kisahku di Indosiar, Dora The Explorer dan Lunar Jim di TV G. "Tapi jangan lupa, program anak-anak di stasiun televisi sangat berlimpah, sekitar 130 judul pada 2006 dan mengambil 10 persen jam tayang dari keseluruhan jam siar televisi dalam satu hari," katanya. Fakta itu yang menurut Nina harus disadari semua pihak, bahwa masih banyak acara-acara yang harus dijauhkan dari anak-anak. Sejumlah acara yang dinilai tidak sehat untuk anak, di antaranya Crayon Sinchan di RCTI, Detektif Conan di Indosiar, Teenage Mutant di Indosiar, Si Entong di TPI, sinetron Heart Series di SCTV, dan Jangan Panggil Aku Anak Kecil di Indosiar. Sementara itu, Ketua Yayasan Kita dan Buah Hati, Elly Risman, mengungkapkan tayangan sinetron anak yang kini makin marak di televisi seringkali berisi kekerasan kata, kekerasan fisik, perseteruan anak-orang tua, perselingkuhan, persekongkolan, hingga pelecehan atribut sekolah. "Yang lebih memprihatinkan lagi adalah adegan reka ulang kejadian pemerkosaan terhadap anak-anak kerap kali dijelaskan dengan gambar yang vulgar dan menggunakan model anak-anak," katanya. Terlalu banyak menonton televisi, lanjutnya, juga berdampak buruk pada anak-anak yakni obesitas, mata mudah lelah, dan kesulitan dalam membaca teks. "Kami bukan hendak memusuhi televisi, kami netral saja. Tapi yang kami tekankan dalam "Hari Tanpa TV" adalah menjadi lebih kritis dalam menyaring tayangan-tayangan yang sesuai untuk anak dan memberi alternatif kegiatan yang menyenangkan bagi anak, sehingga tidak menghabiskan sebagian besar waktunya di depan televisi," demikian Nina. (*)

Copyright © ANTARA 2007