Jakarta (ANTARA News) - Meskipun Indonesia telah mampu melebihi produksi kelapa sawit Malaysia dan menjadi produsen nomor satu dunia, yakni 16 juta ton pada 2006 dan Malaysia hanya 15,88 juta ton karena perluasan areal tanam, namun dari segi produktivitas masih tetap di bawah Malaysia. Rata-rata produktivitas tanaman kelapa sawit nasional sekitar 15 ton Tandan Buah Segar (TBS) per hektar per tahun, padahal Malaysia mampu mencapai 25 ton per hektar per tahun, kata Kepala Divisi Smart Research Institute, Tony Liwang di Jakarta, Jumat. Tingginya produktivitas, lanjut dia, tidak hanya dalam bentuk produksi TBS, tetapi juga produksi minyak (OER) yang tinggi, mutu dan komposisi bahan yang terkandung dalam minyak, misalnya kandungan karoten, tokoferol, dan tokotrienol. Karena itu, menurut dia, hasil penelitian tentang bahan tanaman kelapa sawit unggul merupakan modal dasar terbentuknya sistem perkebunan dengan tingkat produktivitas tinggi, efisien dan juga mutu minyak yang tinggi. Perbaikan terhadap bahan tanaman kelapa sawit itu, ujarnya, dapat dilakukan dengan dua metode yakni dengan metode pemuliaan kelapa sawit secara konvensional dan metode perbaikan tanaman dengan bioteknologi. "Tujuannya selain untuk peningkatan produksi minyak per satuan luas, juga peningkatan mutu minyak, toleran terhadap hama penyakit, ciri psikologis, dan eksploatasi interaksi genetik X lingkungan," ujarnya. Program pemuliaan secara konvensional mengadopsi dua metode yaitu RSS (Recurrent Resiprocal Selection) yang mampu memberi perbaikan pada produksi minyak sekitar 18 persen. Sedangkan metode MRS (Modified Recurrent Selection) yang dikembangkan dengan melakukan introduksi genetik baru, mampu meningkatkan produksi TBS dari 22 menjadi 33 ton per hektar per tahun dan kandungan minyak terhadap tandan dari 20 persen menjadi 25 persen. Namun meskipun terbukti meningkatkan produktivitas, teknologi konvensional membutuhkan waktu lama, areal yang luas dan tenaga yang banyak, ujarnya. Karena itu penerapan bioteknologi untuk memperbaiki bahan tanaman kelapa sawit juga diperlukan. "Bioteknologi atau molecular breeding antara lain dengan teknik in vitro melalui penerapan teknik kultur jaringan, penerapan Masker Assisted Selection, rekayasa genetika dengan mengintrodusi gen spesifik dari luar, serta dengan Molecular Cytogenetic ," katanya. Penelitian, ujarnya, tidak cukup pada bagaimana produksi CPO-nya atau turunannya untuk kebutuhan bahan pangan, tetapi juga bagaimana mengolah produk turunan kelapa sawit lainnya yang bersifat non pangan dan kurang berkembang di Indonesia sementara di Malaysia telah berkembang. Produk hilir kelapa sawit misalnya mono glyseride, fatty acid ethoxylate, fatty alcohol ester sulfat, methyl ester sulfonat yang aplikasinya antara lain untuk keperluan deterjen, sabun, kosmetik, farmasi hingga emulsifier. Namun, ujarnya, produk CPO Indonesia 60 persen diekspor sisanya 40 persen untuk keperluan dalam negeri yang digunakan untuk minyak goreng (29,6 persen), oleokimia (6,8 persen), sabun 2,0 persen dan margarin (1,6 persen).(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007