Makassar (ANTARA News) - Wakil Presiden HM. Jusuf Kalla mengingatkan bahwa 30 persen dari 745 bahasa daerah di Indonesia sudah punah dalam waktu 20 tahun terakhir ini. "Kira-kira kapan habisnya bahasa daerah ini. Artinya pasti akan menurun dan kapan berakhirnya, mungkin suatu saat dan tidak apa-apa juga," katanya pada pembukaan Kongres I Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Selatan di Gubernuran Sangiaseri Makassar, Minggu petang. Di Sulawesi Selatan tidak hanya empat bahasa daerah (Bugis, Makassar, Tanatoraja dan Mandar) tetapi lebih dari itu, banyak bahasa daerah yang lebih kecil lagi. Bagi masyarakat di daerah ini tentu membanggakan mempunyai bahasa ibu yang pertama diajarkan kepada anak-anaknya sejak usia balita. Bahasa itu untuk berkomunikasi, menjaga kultur budaya dan juga sebagai bahasa bisnis. "Kita selalu bangga dengan bahasa yang diajarkan ibu tetapi banyak hal yang menyebabkan kebanggaan tersebut lama-kelamaan pasti akan menurun," ujarnya dan menambahkan, "kita hanya bertugas menjaga agar jangan terlalu cepat bahasa ibu itu punah." Kenapa itu pasti menurun, kata Wapres Jusuf Kalla, karena hal yang sederhana antara lain perkawinan antara suami-isteri yang berbeda bahasa sehingga untuk berkomunikasi dengan anaknya harus menggunakan bahasa nasional. "Saya orang Bugis dan isteri saya orang Padang otomatis anak saya tidak bisa berkomunikasi bahasa daerah kedua-duanya sehingga habislah dia (bahasa daerah itu)," ungkapnya yang disambut tawa hadirin dan menambahkan, kini yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Perkawinan antara Bugis dan Bugis juga bisa hilang bahasa daerahnya bila orang tuanya berkomunikasi dengan bahasa nasional. "Saya tanya pak Prof. Zainuddin Thaha, pakar bahasa daerah di Universitas Negeri Makassar, apa anak-anaknya bisa berkomunikasi dengan bapak dan ibu (keduanya orang bugis) dengan bahasa daerah tersebut," kata Wapres yang kemudian mendapat jawaban "anak-anak tidak bisa menggunakannya, hanya sedikit-sedikit". Ini kan akhirnya bahasa ibu di lingkungan tersebut nantinya akan hilang juga, tambahnya. Kenapa bahasa ibu hilang akibat perkawinan Bugis dengan Bugis atau Makassar dengan Makassar termasuk lintas etnis seperti Bugis dan Makassar atau Bugis dengan Toraja, karena bahas ibu bukan bahasa netral antara keduanya. Menurut Jusuf Kalla, yang menghentikan bahasa ibu adalah anak-anak yang sekolah di Taman Kanak-Kanak (TK) yang diajar bahasa Indonesia dan pulang ke rumah neneknya, lalu neneknya diajari bahasa nasional oleh cucunya. Sekarang ini, bahasa daerah di Bone, Pinrang (bahasa Bugis) masih ada tetapi lambat laun juga akan habis akibat anak TK yang berbahasa Indonesia. "Karena itu, jangan kita tangisi bahasa daerah akan berkurang atau punah. Mau apa pun, mau tandatangani semua MoU (kerjasama) tentang masuknya bahasa daerah di SLTP-SMU sebagai muatan lokal di sekolah tetap akan begitu," tandasnya yang disambut tepuk tangan dan tawa hadirin. Menurut Wapres, salah satu upaya untuk memperlambat kepunahan bahasa ibu adalah dengan mengajarkan bahasa daerah di sekolah tetapi itu dari segi pelajaran karena tidak bisa sebagai bahasa komunikasi. Tahun 60-an, di sekolah kita masih bisa pakai bahasa daerah karena masih diajari bahasa daerah di sekolah bahkan berkomunikasi. "Jadi, kebesaran bangsa ini akan meningkatkan bahasa nasional yang mengurangi bahasa daerah," ungkapnya dan menambahkan, "kalau ingin mempertahankan bahasa daerah, jangan kawin dengan suku lain, tetapi ini susah juga karena kita akan dinilai tidak nasionalis." Cara kedua untuk mempertahankan bahasa daerah dari kepunahan yakni mengajarkannya kepada anak-anak TK dan pasti itu berhasil sebab diusia tiga-empat tahun paling gampang anak-anak menerima bahasa. Kongres I Bahasa Daerah Sulsel yang akan berlangsung empat hari diikuti 350 peserta dari kalangan pakar bahasa, pemangku adat, mahasiswa, tokoh masyarakat serta dihadiri lima pakar bahasa dari Amerika, Cina, Jepang, Brunai dan Malaysia.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007