Yogyakarta (ANTARA News) - Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Jero Wacik mengatakan sejak tiga tahun lalu pandangan dunia terfokus pada Pulau Flores, menyusul penemuan fosil manusia purba yang kemudian dikenal dengan Homo Floresiensis. Dalam sambutan yang dibacakan Kepala Pusat Penelitian Pengembangan (Kapuslitbang) Depbudpar, Yunus Satrio Atmojo, dalam Seminar Internasional Paleoanthropologi Asia Tenggara di Yogyakarta, Senin, Menbudpar mengemukakan beberapa penelitian di pulau itu dilakukan oleh tim ahli Indonesia dan Australia sejak 2001, sebelum akhirnya menemukan fosil spesies itu pada 2003. "Keberhasilan itu menimbulkan banyak pertanyaan dari berbagai ahli ilmu pengetahuan interdisipliner untuk merespon penemuan ini. Masalah itu bukanlah hal sederhana untuk menyimpulkan jawaban yang dapat diterima oleh setiap orang, sehingga harus ada jawaban yang teruji, terverifikasi, dan memiliki alasan. "Seminar ini dapat digunakan sebagai ajang untuk membahas hal tersebut tapi tidak untuk menemukan kebenaran tentang homo floresiensis sebagai manusia. Namun, untuk menemukan penjelasan masuk akal keberadaan mereka, termasuk hubungannya dengan kita sebagai homo sapiens dan kontribusi kebudayaan manusia secara luas," ujarnya. Menurut dia, ilmu pengetahuan penting artinya untuk menghubungkan manusia sekarang dengan sejarah generasi masa lalu. Meskipun demikian, homo floresiensis dapat ditempatkan sebagai cabang terpisah dari spesies manusia dan tidak langsung terhubung manusia saat ini. Masyarakat di seluruh dunia mengaggap penemuan ini sangat penting bagi studi kemanusiaan tetapi informasi yang diperlukan untuk dapat mengakses pengetahuan ini yang masih terbatas, katanya. Dalam bagian lain sambutannya, Jero Wacik mengatakan, pada saat ini perlu kontribusi ilmu pengetahuan dalam memperluas sisi perlidungan konservasi dan pengelolaan situs-situs purbakala, Pemeliharaan situs purbakala akan menjadi tantangan berat di masa datang, tidak hanya pada pengembangan preservasi tetapi juga untuk penididakan bagi generasi mendatang dan kesinambungan pariwisata budaya yang menguntungkan komunitas lokal,katanya. Seminar yang diselenggarakan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang dijadwalkan berlangsung 25 Juli, diikuti 45 ahli paleoanthropologi dari 14 negara serta 27 pakar dari Indonesia. (*)

Copyright © ANTARA 2007