Jakarta (ANTARA News) - Target Indonesia untuk menurunkan angka buta aksara dari 12,88 juta orang (8,07 persen) menjadi 7,7 juta orang (lima persen) pada tahun 2009 terancam gagal karena ada indikasi terjadi "perebutan" warga belajar antara perguruan tinggi, dinas pendidikan dan LSM setempat di lapangan. Kata "rebutan" warga belajar yang berkonotasi negatif tersebut seakan telah mencoreng berbagai upaya yang telah dilakukan baik pemerintah maupun berbagai elemen masyarakat baik dari kalangan perguruan tinggi, lembaga sosial, organisasi perempuan untuk mempercepat serta menuntaskan program pemberansatan buta aksara. Padahal, Pemerintah gencar meminta dukungan masyarakat luas untuk bahu membahu mempercepat penuntasan buta aksara sehingga tindakan penolakan terhadap upaya percepatan dalam penuntasan buta aksara adalah tindakan kontraproduktif. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006 menyebutkan angka buta aksara usia 15 tahun di Indonesia berjumlah 12.881.080 orang atau 8,07 persen. Target yang dicapai, yakni menurunkan angka buta aksara menjadi lima persen pada akhir tahun 2009. Sementara, menurut kesepakatan negara-negara yang tergabung dalam forum Dakar, Senegal -termasuk Indonesia- ditargetkan menurunkannya menjadi lima persen yang akan dicapai pada 2015, artinya Indonesia berinisiatif melakukan penuntasan enam tahun lebih cepat. Namun demikian, menyadari penting dan beratnya pencapaian target tersebut kemudian pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara (GNP-PWB/PBA). Penanggung Jawab KKN Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (PPM) Universitas Gajah Mada (UGM) Prof Dr Retno Sunarminingsih dalam sebuah diskusi Keaksaraan mengakui adanya benturan kepentingan yang menjadi kendala di lapangan saat pihak perguruan tinggi memperkenalkan model pendekatan pemberantasan buta aksara terhadap sebuah kelompok masyarakat. "Perguruan tinggi memiliki program Kuliah Kerja Nyata (KKN) Pemberantasan Buta Aksara dalam bentuk paket ajar pendidikan keaksaraan tingkat dasar dua bulan. Inilah yang menjadi ancaman pelaksanaan di lapangan sebab pendekatan pemberantasan buta aksara yang diterapkan selama ini membutuhkan waktu enam bulan," kata Prof Dr Retno Sunarminingsih. Pameo yang mengatakan, "jika bisa dipersulit mengapa harus dipermudah" agaknya sangat pas untuk menggambarkan apa yang sering dikeluhkan masyarakat ketika berhubungan dengan urusan birokrasi. Untuk urusan pemberantasan buta aksara memang sepatutnya tidak ada lagi kompromi dengan mempersulit sebuah niat baik dari masyarakat apalagi uluran tangan tersebut datang dari lingkungan akademisi yang tidak perlu diragukan lagi kemampuannya. Prof Dr Retno mengaku prihatin terhadap sikap sejumlah "oknum" di pemerintahan daerah yang mempersulit upaya-upaya pengabdian yang dilakukan mahasiswa melalui kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN). "Kontradiksi dengan Gerakan Percepatan Pemberantasan Buta Aksara. Kami selalu mendapatkan atau diberi peserta didik dengan lokasi yang sulit dijangkau. Padahal saat ini sebanyak 7,7 juta penduduk harus melek aksara dalam jangka waktu tiga tahun hingga 2009 nanti," ujarnya. Dengan demikian, setiap tahun sejak 2007 sebanyak 2,5 juta penduduk per tahun harus melek aksara sementara kapasitas pemberantasan buta aksara (PBA) Depdiknas dan Dinas Pendidikan Daerah sekitar 1,5 juta per tahun sehingga ada "gap" satu juta per tahun. "Calistung" Pemberian konsep "calistung" serentak dengan pengenalan bahasa Indonesia terlalu berat bagi peserta didik yang rata-rata kecerdasannya terbatas. Huruf kapital diberikan secara terpisah dari huruf kecil menyebabkan penghafalan tiga kali/langkah oleh peserta didik. Untuk itu, UGM menyusun sebuah metode melalui pembuatan Paket Ajar Pendidikan Keaksaraan Tingkat Dasar dengan menggunakan Bahasa Ibu yakni Madura, Jawa, Sunda dan Bugis selama jangka waktu dua bulan dengan target lima juta penduduk pertahun. Pemilihan bahasa lokal ini berdasar kondisi terparah dalam buta aksara, setelah peserta menguasai konsep baca tulis, barulah diberikan pelatihan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Menurut Prof Retno, untuk mewujudkan keberlanjutan kerjasama yang baik antar semua stakeholders gerakan PBA diperlukan sosialisasi intensif tentang gerakan nasional percepatan PBA melalui KKN-PT ke Pemda dan Dinas Pendidikan se-Indonesia perlu dilakukan oleh Depdiknas dan Gubernur sebagai tindak lanjut kesepakatan kerjasama antara Depdiknas dan pemda sehingga Gerakan Percepatan PBA mendapatkan dukungan yang memadai. "Kerjasama ini mampu menghilangkan hambatan di lapangan dan kontrak kerjasama antara Dirjen PLS dengan Walikota/Bupati sebagai dasar pelaksanaan Pendidikan Keaksaraan di daerah oleh stakeholders," katanya. Sementara itu, Dirjen Pendidikan Non Formal dan Informal Depdiknas Ace Suryadi mengakui untuk menurunkan angka buta aksara menjadi lima persen pada tahun 2009 merupakan tugas yang tidak mudah. "Kami menyadari tidak mungkin bila target tersebut dapat dicapai hanya dengan bekerja sendiri. Kita menggalang kerjasama dengan berbagai pihak seperti dengan pemerintah daerah, perguruan tinggi, organisasi perempuan, organisasi keagamaan, hingga swasta," katanya. Pemerintah mengalokasikan anggaran tahun 2007 sebesar Rp1,25 triliun untuk mengurangi angka buta aksara yang mencapai 2,2 juta orang di seluruh tanah air. "Anggaran ditanggung bersama pemerintah pusat dan daerah yakni pusat sebesar Rp700 miliar untuk memberantas 1,2 juta orang. Sementara pemerintah daerah menanggung biaya Rp550 miliar untuk satu juta orang lainnya," katanya. Saat ini, sebanyak 81 persen lebih penduduk buta aksara terkonsentrasi di 10 provinsi dengan urutan tertinggi di provinsi Jawa Timur diikuti Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, NTB, Papua, NTT, Bali, Lampung dan Banten. Sedangkan sisanya dibagi rata di 22 provinsi lain. Beberapa model inovasi untuk mempercepat pemberantasan buta aksara telah diterapkan di masyarakat yang disesuaikan dengan kondisi geografis dan budaya masyarakat setempat. "Model pendekatan pemberantasan buta aksara memang kita serahkan kepada masing-masing daerah sebab belum tentu satu model pendekatan yang sukses di sutau daerah misalnya cocok diterapkan di daerah lainnya," katanya. Saat ini memang dikenal sejumlah model di antaranya melalui pembelajaran mikro, dalam bentuk permainan karakter dan angka, melalui pendekatan Bahasa Ibu, pendekatan vertikal seperti dikenal model "Bondowoso" dan sebagainya . "Kami terbuka terhadap berbagai inovasi yang ditawarkan baik dari perguruan tinggi ataupun organisasi masyarakat selama pendekatan itu mampu menurunkan angka buta huruf," kata Ace Suryadi. Semangat membebaskan masyarakat dari buta aksara agaknya masih perlu ditumbuhkan dan benar-benar disosialisasikan secara merata kepada setiap jajaran pemerintahan di lapangan agar tidak semata hanya mengejar target namun mengabaikan kualitas sehingga selalu membuka peluang terjadinya angka buta aksara baru.(*)

Oleh Zita Meirina
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007