Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah harus mendorong pengeluaran (government expenditure) dengan menitikberatkan pada stimulus sektor-sektor padat karya (labour intensive), sehingga mampu menyerap tenaga kerja dan dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi berkualitas, kata pengamat dari LPEM UI, Andry Asmoro. "Kalau dari sisi pengurangan pengangguran, pemerintah harus memberi insentif berupa kemudahan izin atau keleluasaan pajak kepada sektor padat karya. Itu yang bisa menaikkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas," ujar ekonomi dari Lemabaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), Andry Asmoro, di Jakarta, Kamis. Pemberian insentif tersebut, menurut Andry, juga disesuaikan dengan infrastruktur yang ada di daerah sasaran investasi. Investor akan berpikir ulang jika harus membangun infrastruktur yang mahal meskipun sudah diberi keleluasaan pajak. "Salah satu solusinya, pemerintah yang menyediakan infrastruktur sehingga investor berdatangan dan membuka lapangan kerja, baru dapat memungut pajaknya," katanya. Perekonomian Indonesia kini masih didominasi oleh sektor konsumsi (consumption driven growth), yaitu sekitar 40-50 persen dibanding sektor lain seperti ekspor-impor, investasi, dan belanja pemerintah. Lebih dikhawatirkan lagi, katanya, ternyata konsumsi tersebut berasal dari masyarakat golongan atas, bukan masyarakat miskin. "Itulah yang menyebabkan terjadinya pertumbuhan ekonomi yang tak berkualitas karena pertumbuhan itu mengalami `trickle up effect` (efek menetes ke atas), seperti diungkapkan Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) beberapa waktu lalu," katanya. Ketua ISEI yang dimaksudnya adalah Burhanuddin Abdullah, yang juga Gubernur Bank Indonesia (BI). Indikasi kuat adanya "trickle up effect" ini terlihat dari ketimpangan distribusi pendapatan antara masyarakat miskin dengan kelompok kaya. Kue nasional distribusi pendapatan yang dinikmati oleh kelompok 40 persen penduduk termiskin mengalami penurunan dari 20,92 persen pada 2002 menjadi 19,2 persen pada 2006. Pada saat yang bersamaan, terjadi peningkatan pendapatan oleh kelompok 20 persen penduduk terkaya, dari 44,7 persen menjadi 45,7 persen pada tahun yang sama. "Memang PDB per kapita Indonesia 2006 naik menjadi 1.663 dolar AS. Tapi angka rasio gini juga meningkat, dari 0,29 pada tahun 2002 menjadi 0,35 pada tahun 2006. Angka rasio gini yang semakin meningkat berarti telah terjadi ketimpangan distribusi pendapatan yang makin lebar," katanya. Ia menambahkan, konsumsi pemerintah yang meningkat akibat serangkaian stimulus fiskal, ternyata tidak dibarengi konsumsi swasta, yang masih tumbuh lambat karena lemahnya daya beli masyarakat pasca kenaikan BBM Oktober 2005. Padahal, pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh konsumsi ini sesungguhnya bisa menjadi multiplier yang baik untuk meningkatkan pendapatan, namun konsumsi ini harus merata di seluruh lapisan masyarakat, katanya menambahkan. (*)

Pewarta:
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007