Jakarta (ANTARA News) - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berjanji untuk menjalankan mekanisme "cost recovery" pertambangan dengan lebih transparan sehingga publik dapat mengetahui. "Selama ini memang pengelolaan penerimaan negara dalam bentuk minyak itu sangat sensitif terhadap berbagai faktor termasuk faktor harga minyak, kurs. Juga dari sisi transparansi dari seluruh info yang bisa di-disclose oleh pihak-pihak yang memiliki fungsi atau tanggung jawab itu," kata Menkeu. Menkeu mengungkapkan hal itu usai melantik pejabat eselon II di lingkungan Setjen dan Ditjen Bea dan Cukai Depkeu di Jakarta, Jumat. Menurut dia, pihaknya akan memperbaiki transparansi mengenai mekanisme dana cost recovery sehingga publik juga memahami karena mekanisme dana cost recovery melibatkan instansi lain yaitu Departemen ESDM dan BP Migas. "Ada pembagian tugas di mana Depkeu merupakan pengelola keuangan negara, di sisi lain juga ada Departemen ESDM dan BP Migas yang sebelumnya oleh Pertamina," katanya. Menurut dia, kondisi tersebut menimbulkan persoalan siapa yang bertanggungjawab dan apakah informasi yang berkaitan dengan itu dapat dipublikasikan atau tidak. Cost recovery merupakan biaya yang harus disalurkan oleh pemerintah (dana dari APBN) kepada pelaku usaha pertambangan atau kontraktor produksi sharing (KPS). Ketika ditanya apakah cost recovery yang ditetapkan dalam APBN saat ini sebesar sekitar 10,4 miliar dolar AS, tidak terlalu besar, Menkeu mengatakan, berapa besarnya cost recovery yang menetapkan adalah BP Migas. "Itu selama ini dikoleksi dan diobservasi oleh BP Migas. Kalau sekarang concernnya adalah apakah jumlah itu dianggap wajar atau tidak, itu menjadi perhatian kita," katanya. Ia menyebutkan, dari sisi industri migas di dunia, harga minyak yang sedang tinggi meningkatkan biaya eksplorasi. Namun pemerintah telah membentuk BP Migas yang berfungsi melakukan enforcement atau pelaksanaan dari biaya-biaya itu, apakah yang dapat dimasukkan dalam tagihan kepada pemerintah atau tidak," katanya. Menurut dia, jika beberapa pihak mendeteksi adanya ketidakwajaran termasuk BPK, hal itu akan menjadi perhatian bagi pemerintah untuk mengkaji kembali. "Tetapi bagaimana bentuknya kita akan lihat lagi," kata Menkeu.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007