Jakarta (ANTARA News) - Mahathir Muhammad tidak semata tercatat dalam sejarah Malaysia namun juga dunia sebagai pemimpin negara petahana tertua di dunia 92 tahun, 304 hari), disusul oleh Ratu Elizabeth II (92 tahun, 19 hari). Ia juga merupakan pemimpin negara tertua ke-10 sepanjang sejarah. 

Pria yang lahir dan besar di Alor SetarKedah, itu dilantik setelah kemenangan bersejarah koalisi oposisi Pakatan Harapan yang dipimpinnya pada 9 Mei 2018.

Najib Razak, calon perdana menteri dari koalisi petahana Barisan Nasional dinyatakan kalah kemudian mengakhiri masa pemerintahan Perdana Menteri Malaysia ke-6. 

Mahathir pun dilantik sebagai Perdana Menteri pada pukul 17.00 keesokan harinya.

Naiknya pria yang berprofesi sebagai dokter itu kembali ke tampuk pemerintahan menjadi sesuatu yang amat menarik untuk diperbincangkan.

Bukan semata karena usianya yang telah lanjut namun juga menggambarkan betapa kekuatan komitmen dan pemenuhan akan "nation call" itu bisa mengalahkan apa saja.

Mahathir tampak terusik dengan berbagai hal yang terjadi menimpa bangsanya sehingga ia pun terpanggil untuk mengembalikan pandangan negerinya kembali ke garis pendiri bangsanya.
Usia baginya tak menjadi halangan sepanjang komitmennya masih tetap sama.

Maka Mahathir pun diharapkan masih akan menggunakan cara dan gaya yang serupa dalam memimpin sebagaimana sebelumnya hingga melahirkan Malaysia sebagai bangsa yang memiliki pondasi yang kuat dalam membangun.

Sebagaimana dulu, Mahathir senantiasa mendidik bangsanya untuk selalu belajar pada siapapun termasuk Indonesia yang dianggapnya sebagai Sang Saudara Tua.
Maka, ia pun kemudian memilih Indonesia sebagai negara pertama yang dikunjunginya dalam lawatan resminya beberapa bulan setelah dirinya resmi dilantik.


Guru Bangsa

Di negerinya, Mahathir yang lahir 10 Juli 1925 itu tak bisa disangkal adalah guru bangsa yang masih amat disegani.

Ia juga yang mendidik bangsanya untuk bisa berlaku hormat kepada saudara serumpun, Indonesia hingga waktu kemudian mengikisnya pelan-pelan sampai ajarannya mulai terlupakan.

Abubakar Eby Hara, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Jember, Jawa Timur, menuliskan dalam papernya yang berjudul Hubungan Malaysia dan Indonesia: Dari Saudara Serumpun ke `Smart Partnership`.

Menurut dia, pada awalnya pemahaman Malaysia terhadap Indonesia, dalam kadar tertentu dapat dikatakan berangkat dari identitas keserumpunan, hubungan adik kakak ataupun hubungan sedarah.
Pemahaman ini yang juga diikuti Indonesia, berasal dari kenyataan bahwa Malaysia merdeka setelah Indonesia, dalam sejarahnya ada hubungan saling membantu, dan ada perasaan senasib sepenanggungan sebagai negeri yang terjajah. 

Kedua negara dikenal sebagai negara serumpun karena memiliki banyak kesamaan akar budaya, sejarah kerajaan­kerajaan, agama, bahkan keturunan yang sama. 

Kondisi ini menyebabkan kedua negara pada awalnya memiliki identitas bersama atau collective identity yang memudahkan mereka dalam berhubungan dan menyelesaikan masalah di antara keduanya. 

Malaysia dipandang respect kepada saudara tuanya dalam hubungan kedua negara. 

Namun dalam kurang lebih dua dekade belakangan ini, pemahaman Malaysia tentang Indonesia mengalami perubahan. 

Salah satu sebabnya adalah pandangan yang terbentuk dari persinggungan mereka dengan TKI, laporan­-laporan media dan pernyataan para pemimpin Malaysia tentang pekerja Indonesia. 

Ini membentuk pemahaman bahwa Malaysia lebih maju, lebih berkembang, lebih stabil dan aman daripada Indonesia. 

Collective identity perlahan-­lahan berganti dengan distinct identity yang berangkat dari asumsi tentang Malaysia yang lebih mampu mengelola sumber­sumber daripada Indonesia, dan yang memerlukan ruang baru untuk terus berkembang. 

Perubahan identitas ini juga perlu diletakkan dalam konteks kampanye lebih luas pemerintah di sana tentang ‘Malaysia Boleh‘ dan konsep-­konsep seperti hubungan kerja sama berdasarkan ‘Smart Partnership‘. Identitas seperti ini mengkerangkai kepentingan untuk mengklaim dan mengelola baik pulau-­pulau, wilayah maupun produk budaya yang selama ini dikenal milik Indonesia.

Hal seperti itulah yang menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi Mahathir untuk mengembalikan pada jalur awal.

Ia yang sedari dulu dikenal amat respek kepada Indonesia menjadi harapan tersendiri bagi semakin membaiknya hubungan orang perorang antara kedua negara.

Kini guru bangsa itu telah kembali memimpin bangsanya sehingga harapan besar pun lagi-lagi diletakkan di pundaknya.


Sebuah Tradisi

Penghormatan untuk sebuah hubungan yang amat dekat  ditradisikan antar-dua negara, Indonesia-Malaysia.

Maka tak heran ketika, Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana Joko Widodo menyambut langsung kedatangan Mahathir Mohammad dan sang istri Siti Hasmah pada Kamis petang di Bandara Internasional Halim Perdana Kusuma Jakarta.

Presiden Jokowi dan Ibu Negara telah menanti di tangga pesawat begitu Mahathir dan rombongan tiba.

Mahathir yang menuruni tangga pesawat lebih dahulu langsung disambut Presiden dan Ibu Negara RI.

Tak lama kemudian ketiganya menanti Siti Hasmah menuruni tangga pesawat berkarpet merah dari pesawat Airbus A399 yang mengangkut Mahathir dan rombongan.

Ada pesan penting yang tersirat bahwa baik Jokowi maupun Mahathir ingin mengembalikan hubungan baik antara kedua negara dengan cara-cara lama yang lebih hangat dan jauh dari kesan emosional.

Mahathir yang santun dan Jokowi yang sopan serasa ingin melunturkan anggapan bahwa hubungan kedua negara kerap kali memanas terutama antar-individu karena berbagai persoalan.

Namun di luar itu, berbagai harapan pun muncul terkait kunjungan Mahathir ke Indonesia.

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) misalnya mengapresiasi kunjungan Perdana Menteri Malaysia, Tun Mahathir Mohamad.

Kunjungan Mahathir merupakan apresiasi pemerintahan Malaysia terhadap pentingnya posisi politik dan ekonomi Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo.

Ketua Umum PSI, Grace Natalie, yakin kunjungan kenegaraan ini akan membuat hubungan kedua negara menjadi lebih baik.

“Indonesia dan Malaysia adalah dua negara penting di kawasan. Keakraban dua negara tentu akan bermanfaat menyelesaikan banyak persoalan di ASEAN,” ujar Grace, dalam keterangan tertulis.
Selain itu, PSI juga mengapresiasi perkembangan politik di Indonesia. PSI melihat gairah politik baru di Malaysia sejak terpilihnya kembali Mahathir dan kemenangan Pakatan Harapan dalam Pemilu terakhir di Malaysia.

Selamat datang kembali, Mahathir, bersama beragam harapan untuk semakin eratnya hubungan dan kerja sama saling menguntungkan antara Indonesia-Malaysia.

Indonesia pun menghargai cara Mahathir yang berkhidmat pada sang saudara tua.

T. H016





 

Pewarta: Hanni Sofia
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018