Jakarta (ANTARA News) - Saat ini sekitar 70 persen perusahaan jasa TKI (PJTKI) terancam bangkrut karena maraknya penempatan TKI ilegal ke luar negeri oleh sindikat atau perusahaan liar. Ketua Umum Himpunan Pengusaha Jasa TKI (Himsataki) Yunus M Yamani dan Ketua Badan Otonom (BO) Ikhlas (kumpulan perusahaan penempatan TKI ke Arab Saudi) Rusdi Basalamah yang dihubungi terpisah di Jakarta, Jumat, mengatakan untuk mengatasinya pemerintah harus melegitimasi perjanjian kerja (PK) dan menerapkan sistem On Line ke semua negara penempatan serta memberi peranan lebih pada PJTKI dan asosiasinya untuk mengawasinya. Yunus mengatakan, PJTKI bermodal pas-pasan terpaksa menggunakan sistem numpang bendera atau numpang proses agar usahanya tetap bertahan dan TKI yang sudah direkrutnya bisa berangkat. "Ini semua karena kesalahan sistem yang diterapkan Depnakertrans yang diskriminatif," kata Yunus. Maksudnya, Depnakertrans hanya memberlakukan sistem legitiminasi Perjanjian Kerja oleh KBRI untuk wilayah penempatan Arab Saudi saja, sementara untuk wilayah lain tidak. Kondisi ini memberi peluang kepada oknum-oknum tertentu untuk menempatkan TKI secara ilegal ke sejumlah negara. Di sisi lain dia sangat prihatin atas masih diabaikannya instruksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai reformasi penempatan TKI. Pada tahun 2006 Presiden telah mengeluarkan Inpres No. 3/2006 tentang perubahan Undang-Undang No.39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga kerja Luar Negeri dengan batas waktu sampai Oktober 2006 tetapi sampai sekarang instruksi tersebut belum dijalan oleh Depnakertrans. Yunus juga menyoroti posisi ambigu Balai Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) yang dalam Undang-Undang No.39/2004 disebut hanya sebatas operator, tetapi diangkat oleh Presiden serta bertanggung jawab pada Presiden, tetapi dalam kegiatannya hanya melaksanakan aturan Menteri. "Ini yang saya bilang pembantu Presiden yang dikebiri. Seharusnya pimpinan BNP2TKI itu setingkat Menteri dan mempunyai hak mengeluarkan surat keputusan, bukan sekedar membuat surat edaran," katanya. Untuk mengurus masalah TKI yang multi facet, kata Yunus, perlu segera merevisi UU No. 39/2004 yang sesuai dengan kondisi di lapangan. Yunus menilai Presiden Yudhoyono sudah tepat mengeluarkan instruksi Presiden karena melihat ada kejanggalan dalam Undang-Undang tersebut, tetapi Presiden masih terkesan ragu-ragu terhadap instruksinya yang tidak ditindaklanjuti oleh Depnakertrans. Revisi UU No.39/2004 dinilainya perlu segara dilaksanakan agar penempatan dan perlindungan TKI tidak terus berantakan. Sementara Rusdi Basalamah menilai legitiminasi PK oleh KBRI harus dilakukan ke semua wilayah penempatan, karena dengan demikian, penempatan TKI ilegal ke wilayah tersebut bisa terdeteksi dan oknum yang melakukannya bisa langsung ditindak. Dia juga menyarankan agar pemerintah melibatkan peran asosiasi PJTKI dalam mengatasi pengiriman TKI ilegal, karena PJTKI lebih banyak mengetahui simpul-simpul terjadinya penempatan ilegal tersebut. "Kalau hanya melibatkan kepolisian dan instansi terkait lain, ya, percuma. Karena mereka sifatnya hanya `memadamkan kebakaran` saja dan tidak tuntas pula di pengadilan," kata Rusdi. Rusdi dan Yunus sependapat, untuk mengatasi masalah TKI ilegal hanya dapat dilakukan jika Depnakertrans membenahi sistem dengan melaksanakan legitimasi PK dan sistem On Line di semua negara penempatan serta memberi peranan lebih pada PJTKI dan asosiasinya.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007