Makassar (ANTARA News) - Larangan impor komoditas perikanan laut (seafood) asal Indonesia yang diberlakukan oleh pemerintah Cina, tidak akan berlangsung lama karena ketergantungan negara itu terhadap komoditas hasil laut Indonesia itu cukup tinggi. "Larangan itu tidak perlu menjadi `phobia` bagi pengusaha karena larangan itu lebih bersifat politis " kata Pakar Ekonomi Universitas Hasanuddin, Dr Marzuki DEA, di Makassar, Selasa. Kendati demikian, tambahnya tetap patut diwaspadai, karena jika memang komoditi asal Indonesia itu di stop dalam jangka waktu lama, tentu tiga komponen yakni nelayan, pedagang pengumpul dan eksportir akan merasakan dampaknya secara langsung. Menurutnya, Cina tidak mungkin memutuskan hubungan dagangnya dengan Indonesia karena pengusaha dari Negeri Tirai Bambu itu sangat tergantung pada komoditas seafood asal Indonesia yang terkenal lebih gurih dibanding produksi negara lain dan harganya lebih murah. Kedua pertimbangan tersebut, tentu akan membuat para pengimpor Cina berpikir keras untuk mengikuti pelarangan impor seafood dari pemerintahnya. "Tentu pengusahanya akan memprotes keras pemerintah negara iti jika sudah merasa kesulitan karena menilai larangan itu hanya alasan politis untuk melakukan aksi balas terhadap `penyortiran` produk Cina di Indonesia belakangan ini yang banyak mengandung zat yang membahayakan kesehatan," katanya. Pada sisi lain yang juga dapat dicermati dari masalah itu, lanjut Marzuki, tak lain adalah imbas dari upaya politik dagang Amerika yang mencoba memboikot ruang gerak pemasaran produk Cina yang sudah menguasai pasar dunia. Alasannya, `penyisiran` produk Cina di Indonesia seperti permen, pasta gigi dan aneka kosmetika, sebenarnya lebih awal dilakukan oleh Amerika dan negara-negara besar lainnya di dunia, Indonesia hanya mengikuti. "Namun kemudian Indonesialah yang mendapat imbasnya dari Cina dengan pelarangan impor seafood. Namun yakinlah, ini tidak akan bertahan lama, dengan beberapa pertimbangan ketergantungan importir negara itu terhadap berbagi mata dagangan dari Indonesia," kunci Marzuki.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007