Bengkulu (ANTARA News) - Mantan Ketua DPR Akbar Tandjung meminta pemerintah agar menolak pendirian Partai Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai partai lokal di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). "Kita tahu GAM itu merupakan gerakan yang ingin memisahkan diri dari NKRI, karena itu kita minta agar pemerintah menolak keinginan untuk mendirikan Partai GAM itu," katanya saat deklarasi Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Barisan Indonesia (Barindo) Provinsi Bengkulu di Bengkulu, Rabu. Akbar yang juga Ketua Dewan Pertimbangan DPP Barindo itu mengingatkan saat ini semangat untuk memisahkan diri dari NKRI masih terus terjadi dan digelorakan oleh pihak-pihak tertentu. Di antara gerakan-gerakan keinginan memisahkan diri itu yakni usulan mendirikan Partai GAM, kasus pementasan tarian cakalele saat peringatan Hari Keluarga Nasional di Ambon, yang dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua. "Gerakan-gerakan itu, menunjukan pada kita bahwa keinginan untuk memisahkan diri terus ada, dan ini perlu mendapat perhatian dari semua pihak," kata mantan Ketua Umum Partai Golkar itu. Menurut dia, guna menghindari terjadinya perpecahan yang berdampak adanya keinginan untuk memisahkan diri, maka perlu terus digelorakan semangat persatuan dan kesatuan dengan tetap berbegang pada konsensus-konsensus yang mendasari berdirinya NKRI. Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasiona Letjen TNI M Yasin juga mengingatkan, keinginan untuk memisahkan diri saat ini tidak lagi hanya sebatas wacana, tapi sudah nampak. Tuntuan itu, menurut dia, tidak terlepas dari adanya transfer nilai-nilai dari wilayah (negara-red) lain yang sengaja di masukkan ke Indonesia dengan harapkan terjadi perbecahan. Ia menjelaskan, ada pihak yang tidak ingin melihat Indonesia kuat, dengan terus berusaha melakukan "penyerangan" dengan mamanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) "Jika pada abad ke-15, kita dihadapkan pada globalisasi fisik, berupa penjajahan oleh Belanda selama 350 tahun, namun kini kita mengalami ancaman globalisasi dengan Iptek," katanya. Kedua serangan itu, kata dia, menimbulkan dampak dan korban jiwa yang tidak sedikit. Saat penjajahan ribuan atau bahkan ratusan ribu rakyat menjadi korban sia-sia. "Serangan yang terjadi sekarang pun tidak kurang menimbulkan korban sia-sia. Kita lihat ribuan orang rakyat kita jadi korban sia-sia akibat konflik di Kalimantan, Sulawesi, Aceh bahkan di Jakarta dalam kerusuhan 1998," katanya. Masuknya pengaruh asing itu, patut dicurigai karena apa yang dilakukan masyarakat yang terlibat konflik termasuk di Jakarta sama sekali tidak mencerminkan sikap Bangsa Indonesia. "Coba tanyakan pada pelaku kerusuhan 1998, kenapa mereka melakukan penjarahan dan pembunuhan, semuanya tidak akan ada yang bisa menjawab, karena memang mereka tidak tahu," katanya.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007