Surabaya (ANTARA News) - Wartawan tidak dilindungi sebagai pelapor kasus korupsi, karena UU 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban hanya melindungi saksi yang menjadi korban. "Itu bukan kata saya, tapi kata Undang-undang," ujar Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) H Abdullah Hehamahua dalam sebuah lokakarya di Surabaya, Selasa. Ketika berbicara di hadapan sekitar 30 wartawan Surabaya yang menjadi peserta "Lokakarya Antikorupsi Bagi Jurnalis" itu, ia menjelaskan wartawan sebagai pelapor tetap dapat selamat. "Kami sudah mengeluarkan surat edaran kepada polisi dan jaksa agar pelaku korupsi yang menuduh wartawan melakukan pencemaran nama baik itu disidang lebih dulu," ucapnya dalam lokakarya yang diadakan KPK tersebut. Dengan cara itu, katanya, jika koruptor terlapor terbukti melakukan korupsi, maka kasus pencemaran nama baik yang melibatkan wartawan dapat dihentikan. "Tapi, kalau koruptor yang disidang tidak terbukti melakukan korupsi, maka kasus pencemaran nama baik dapat dilanjutkan," ungkap mantan wartawan itu. Dalam lokakarya yang menampilkan Plt Sekjen KPK Prof DR M Syamsa Ardisasmita DEA, Kajati Jatim DR Marwan Effendy SH MHum, Ketua PWI Jatim Dhimam Abror dan sosiolog Prof Dr Hotman Siahaan MA itu, ia menegaskan bahwa wartawan juga dapat selamat bila mematuhi kode etik. "Saya yakin, kalau wartawan tetap memakai kode etik, bersikap profesional dan memiliki integritas, maka dia akan selamat juga," paparnya. Dalam kesempatan itu, ia menyebutkan bahwa UU 13/2006 juga mengatur wartawan sebagai pelapor korupsi dapat memperoleh dua per-mil dari uang negara yang dikorup sebagai penghargaan. Sementara itu, Ketua PWI Jatim Dhimam Abror menegaskan bahwa wartawan memang rawan dengan gugatan, karena mereka seringkali menerima data dari LSM tanpa melakukan konfirmasi. "Ancaman terhadap wartawan itu bukan hanya datang dari koruptor, melainkan juga dari pemodal pemilik media massa yang terkait dengan iklan," tegasnya. Menanggapi hal itu, sosiolog Unair Surabaya Prof DR Hotman Siahaan MA menyatakan pers dan legislatif memang merupakan kelompok strategis dalam pemberantasan korupsi. "Tapi ada yang lebih strategis dalam pemberantasan korupsi yakni reformasi birokrasi, karena struktur korupsi bersumber dari birokrasi yang mewarisi sistem sejak era kerajaan hingga penjajahan Belanda," ucapnya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007