Jakarta (ANTARA News) - Tentang musik, ada banyak hal yang bisa dibahas, mulai dari nada, not, instrumen musik, pemusik, pencipta, hingga jenis irama. Berbicara musik pun tidak terlepas dari jenis-jenisnya, dari klasik hingga pop. "Di mana-mana, di atas dunia, banyak orang bermain musik....., dari yang pop sampai klasik," begitu paling tidak dikatakan Raja dangdut Rhoma Irama dalam "Musik", satu lagunya yang mencetak hits pada 1970-an. Banyak orang bilang, dasar dari semua permainan (jenis/genre) musik berasal dari klasik, yang tumbuh dan berkembang pada Periode Klasik. Umumnya, semua sekolah musik memberikan pelajaran kepada siswanya dengan pengenalan dasar-dasar not dan lagu klasik dari Barat, yang tumbuh dan berkembang pada abad ke-18 hingga awal abad ke-19. Zaman Klasik dibatasi antara Zaman Barok dan Zaman Romantik. Komponis yang terkenal pada masa itu adalah Joseph Haydn, Muzio Clementi, Johann Ladislaus Dussek, Andrea Luchesi, Antonio Salieri, Carl Philipp, Emanuel Bach, Wolfgang Amadeus Mozart, dan Ludwig van Beethoven. Pop dan Rock 'n Roll Musik tidak bisa tidak merupakan salah satu potret seni budaya, tradisi dan pandangan hidup masyarakat, tempat ia tumbuh dan berkembang di dalamnya. Karya cipta musik yang baik pun selalu menggambarkan suasana hati dan pikiran sang pencipta. Dari musik klasik, orang kemudian diperkenalkan kepada jenis musik jazz dan blues yang merupakan jeritan hati kaum budak (negro) di Amerika Serikat. Di negeri Paman Sam, semula hanya dikenal country dan rock and roll, yang menjadi sangat populer sejak kemunculan Elvis Presley tahun 1950-an. Dalam waktu hampir bersamaan, di belahan bumi Amerika Latin dan Afrika terjadi gelombang aneka jenis musik, di antaranya reggae, ska, hip hop, R&B, Soul, Dixie, Rhumba, Chacha, dan Bosanova. Memasuki 1960-an, di Inggris muncul generasi pop yang dipelopori Beatles, selain rock `n` roll blues yang dimotori Rolling Stones. Disebut pop karena generasi ini tidak melekatkan diri pada budaya tertentu dan menciptakan musik sesuai selera dan gaya hidup modern. Di Indonesia, muncul pula kelompok musik "ngak-ngik-ngok" Koes Bersaudara, belakangan berganti nama menjadi Koes Plus, yang sempat dijuluki Presiden Soekarno sebagai kapitalis, juga Dara Puspita. Selain itu, juga tampil band pop dan rock seperti Gypsy, Mercy`s, Panbers, D`Llyod, God Bless, Rollies, Giant Step, AKA, SAS, Black Brothers dan sebagainya. Musik Sastra Sebelum generasi pop menyerbu ke Indonesia, di negeri Nusantara ini sudah pula berkembang musik klasik, tokohnya yang terkenal antara lain Ismail Marzuki dan Mochtar Embut. Namun, ketimbang menyebutnya klasik, pianis dan komponis bereputasi internasional Ananda Sukarlan lebih suka memakai istilah musik sastra. Menurutnya, musik sastra adalah lagu yang dibuat dari karya sastra, sajak dan puisi. Not demi not ditulis dalam partitur sebagai sebuah komposisi musik dan lagu. Ananda Sukarlan, tinggal di Spanyol dan rata-rata hanya dua kali setahun pulang dan tampil di Indonesia, mengemukakan pendapatnya saat menggelar konser "Tembang Puitik Indonesia" bersama penyanyi sopran Binu D Sukaman di Erasmus Huis, pusat kebudayaan Belanda di kawasan Kuningan Jakarta, beberapa waktu lalu. Bagi Ananda, musik sastra bukan sekadar musikalisasi puisi. Puisi adalah karya sastra. Ketika syair puisi dilagukan, proses penciptaannya disebut musikalisasi puisi. "Ini berbeda dari musik sastra," katanya. Ia menjelaskan, musik sastra adalah komposisi musik yang diciptakan untuk melagukan syair puisi, yang sebelumnya telah dicerna betul makna serta dalam suasana apa puisi itu dibuat. Dari penghayatan dan kemudian rasa sungkan serta hormat terhadap puisi itu, seorang musisi/komponis menciptakan lagu dengan merangkai chord (kunci) dan not untuk musik dasar dan melodinya, dalam kesatuan harmoni demi menghadirkan keindahan dan keanggunan lagu sesuai kandungan puisi. Menurut Ananda, musik sastra harus selalu dituliskan nada dan notnya pada partitur, seperti sebuah puisi tertulis. Improvisasi, seperti banyak terjadi di dunia musik jazz, sama sekali tidak dibenarkan. Hargai Pendahulu Kata orang bijak, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai budayanya sendiri. Dalam konser "Tembang Puitik Indonesia", yang digelar di Erasmus Huis Jakarta, belum lama ini, Ananda Sukarlan dan Binu D Sukaman tampil membawakan lagu-lagu karya Ismail Marzuki, Mochtar Embut yang mengangkat puisi-puisi W.S Rendra, Trisuci Kamal, dan Ananda sendiri. Konser itu berlangsung seperti talk show. Ananda selalu berbincang dengan penonton sebelum maupun seusai membawakan satu lagu. Lagu-lagu yang dibawakan antara lain Lagu Sepi dan Kekasih dari puisi WS Rendra yang digubar Mochtar Embut), Kepadamu Bunda (Trisuci Kamal), Penjara dan Kama (puisi Ilham Malayu yang digubah Ananda), dan lagu karya Ismail Marzuki berjudul Wanita. Pertunjukan diselingi acara pemberian karangan bunga tanda penghormatan kepada Ibu Ani Embut (ipar Mochtar Embut), Trisuci Kamal, WS Rendra, Ilham Malayu, dan putri Ismail Marzuki. Ananda dan Binu mengatakan, karangan bunga itu perlambang rasa hormat mereka kepada tokoh-tokoh seni budaya dengan karya-karya besar, yang saat ini terkesan tidak lagi dikenal generasi muda. W.S Rendra, sesaat setelah menerima karangan bunga, mengatakan dirinya prihatin melihat perkembangan musik di Tanah Air dewasa ini, yang umumnya terseret budaya asing. "Dulu, jaman kami, juga diserbu budaya luar, tetapi kami bisa melawannya lewat keroncong dan puisi," katanya. Konser Tembang Puitik Indonesia merupakan pertunjukan hidup dari album berjudul sama yang dibuat Ananda dan Binu. Menurut mereka, album ini salah satu wujud kebanggan memiliki musisi dan komponis klasik negeri sendiri.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007