Surabaya (ANTARA News) - Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Prof DR Ir Mohammad Nuh DEA, siap memfasilitasi kaum muslimin di Indonesia dalam menentukan awal dan akhir puasa Ramadhan dengan memanfaatkan produk berbasis Teknologi Informasi (TI). "Kami akan memanfaatkan teropong bintang di Boscha, Bandung, untuk melihat hilal (bulan sabit), kemudian datanya dikirim ke kantor saya dan direlai televisi," katanya usai meresmikan perubahan laman/website Pemkab Probolinggo, Minggu malam, sebagaimana rilis dari staf khusus Menkominfo kepada ANTARA Surabaya, Senin. Dalam peresmian perubahan nama lama Pemkab Probolinggo dari www.kabprobolinggo.go.id menjadi www.probolinggokab.go.id sekaligus peringatan Isra` Mi`raj itu, mantan Rektor Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya tersebut mengatakan bahwa muncul dan tenggelamnya rembulan merupakan gejala alam (sunatullah). "Itu sama dengan gejala air yang mendidih jika dipanasi dengan suhu 100 derajat Celcius. Ya, kita pasang teropong, yang mana itu hilal. Kita dulu dibohongi terus karena tidak pernah tahu sendiri hilal itu seperti apa. Saya pikir boleh pakai teropong, seperti kalau kita pakai kacamata, hanya saja kacamata yang dipanjangkan," katanya. Ia mengaku, prihatin menyaksikan kaum muslimin di Indonesia yang terpecah menjadi tiga kelompok saat menentukan awal-akhir Ramadhan, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dengan rukyatul hilalnya, Muhammadiyah dengan hisabnya, dan Hizbut Tahrir dengan rukyat internasionalnya. "Itu `kan sebenarnya perkara teknis, tapi begitu ditarik ke masalah syar`i (hukum agama) ya tentu saja bisa berimplikasi syar`i. Kalau hari raya beda sehari kok masih mungkin, tapi kalau sampai dua hari `kan aneh," kata mantan Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) di Jawa Timur tersebut. Namun, katanya, upaya kementerian yang dipimpinnya dalam penentuan awal-akhir Ramadhan hanya sebatas membantu Departemen Agama (Depag) RI. "Yang punya kewenangan penentuan awal-akhir Ramadhan, termasuk juga haji adalah Depag. Kami hanya membantu melalui TI," katanya. Ia menilai, rasanya aneh kalau umat Islam yang jumlahnya sekitar 200 juta jiwa tidak bisa melihat bulan, apalagi di era TI seperti sekarang. "Kebetulan 27 Agustus mendatang ada gerhana bulan, nanti teropong di Boscha akan kita uji coba untuk mengamati bulan dari detik ke detik, kita tampilkan di televisi. Rukyat `kan seperti itu juga," katanya. Bila masyarakat menyaksikan muncul-tenggelamnya bulan secara TI, katanya, tidak perlu lagi "gontok-gontokan" (perbedaan secara tajam), karena tinggal melihat di televisi, maka akan dapat diketahui, apakah hilal sudah muncul atau belum, katanya menambahkan. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007