Jakarta (ANTARA News) - Total anggaran Komisi Pemeberantasan Korupsi (KPK) selama 2004-2006 mencapai Rp247,68 miliar, namun total kerugian negara yang berhasil dikembalikan KPK hanya Rp50,04 miliar, kata Wakil Sekjen DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP), T. Taufiqul Hadi. "Sedikitnya uang negara yang berhasil dikembalikan itu, karena KPK selama ini baru menindaklanjui kasus kecil, kasus suap menyuap seperti kasus mantan hakim tinggi Harini Wijoso dkk," katanya di Jakarta, Selasa. Dalam makalahnya pada diskusi "Mencari Format Kepemimpina KPK" yang diadakan Jakarta Journalist Forum (JJF) itu, Taufiqul mengatakan, belum ada satu pun kasus korupsi berskala besar yang berhasil diungkap KPK, baik di kepolisian, kejaksanaan maupun kehakiman. "Kasus korupsi besar, signifikan dan berskala triliunan rupiah tidak dapat ditangani KPK, seperti kasus BLBI. BLBI akhirnya diselesaikan secara politik oleh pemerintah dan DPR," katanya. Taufiqul mengakui, beberapa kasus agak besar yang berhasil ditangani KPK adalah melibatkan pejabat politik dari kalangan tertentu seperti kasus mantan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Abdullah Puteh, mantan Konjen RI di Penang, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (DKP) Rokhmin Dahuri, mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun, KPK belum menyentuh kasus yang melibatkan banyak pejabat politik dan berskala masif, sensitif dan terkait lembaga tertentu, termasuk melibatkan perusahaan asing. Padahal, kata Taufiqul, diduga telah ada bukti awal, banyaknya laporan masyarkat, proses hukumnya terkatung-katung dan meresahkan masyarakat, seperti kasus dugaan korupsi proyek jaringan telepon seluler CDMA di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dugaan suap sebuah perusahaan kimia asal Amerika Serikat (AS) kepada 140 pejabat, dugaan suap di Bank BNI dan dugaan suap korupsi tarif bongkar muat. Dia menambahkan, dalam beberapa kasus korupsi terjadi ironi, di mana lembaga hukum yang ada justru bergerak lebih maju daripada KPK, meski filosofi pembentukan KPK adalah penilaian lamban dan buruknya lembaga penegak hukum yang telah ada, seperti Kejakgung mengupayakan proses hukum bagi obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang tidak kooperatif, sedang KPK menolak memeriksa kasus tersbut. Sementara itu, sejumlah pembicara peserta seleksi calon anggota KPK, seperti Fajrul Rachman, Saleh Khalid dan Eddie Kusuma menyatakan hal senada bahwa KPK mendatang harus dipimpin yang "kuat" dengan mendapat komitmen kuat dari Presiden, DPR, kehakiman dan kejaksaan. (*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007