Megamendung, Bogor (ANTARA News) - Ketua MPR, Hidayat Nurwahid, menegaskan bahwa bila kaum muda menginginkan adanya batas-batas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) masuk dalam UUD 1945, maka hal itu bisa saja diusulkan, dan diinventarisir untuk diusulkan pada perubahan. "Perkiraan saya, pada tahun 2009 akan ada perubahan yang kedua, bahkan mungkin perubahan yang sangat mendasar dari yang kemarin," katanya di Megamendung-Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat (Jabar), Selasa. Hal itu dikemukakannya menjawab pertanyaan peserta Pendidikan Kesadaran Bela Negara Pemuda Tingkat Nasional Angkatan I 2007, yang menanyakan pentingnya batas-batas wilayah negara dimasukkan dalam UUD, yang didasari lepasnya beberapa pulau milik Indonesia, termasuk Pulau Sipadan dan Ligitan. Pertanyaan itu disampaikan Virgiani dari Dewan Pimpinan Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPP KNPI), dan Franz Julius Matwera, wakil dari Provinsi Maluku, usai Hidayat memberikan pemaparan mengenai UUD 1945 kepada 80 wakil generasi muda se-Indonesia, yang mengikuti kegiatan bertema "Pendidikan Kesadaran Bela Negara Pemuda: Memperkokoh Wawasan Kebangsaan dan Keutuhan NKRI" yang digagas Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga, dan akan berlangsung hingga 29 Agustus mendatang. Hidayat Nurwahid mengemukakan, wilayah negara sudah tercantum pada pasal 25 a UUD 1945 hasil amandemen dan butir itu adalah perubahan keempat, di mana disebutkan bahwa NKRI adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan UU. "Jadi, rujukan atau cantolan hukumnya sudah ada," katanya. Hanya saja, kata dia, mengenai batasnya apa saja, memang belum disebutkan dalam UUD, namun disebutkan dalam UU. "Kalau kemudian rekan-rekan semuanya mengusulkan itu masuk dalam UUD, ya `monggo` (silakan) saja, ini bagian yang bisa diinventarisir untuk diusulkan pada perubahan," katanya. Ia menegaskan, secara prinsip dirinya bisa memahami aspirasi batas wilayah itu, dan hal tersebut merupakan sesuatu hal yang rasional, dan sangat diperlukan. "Dan, saya termasuk yang mengkritisi dulu melalui logika Menteri Luar Negeri, dan kemudian disampaikan Ibu Presiden pada waktu pidato kenegaraan di DPR," katanya. Pada saat itu, katanya, pemerintah memberikan rasionalisasi tentang hilangnya Sipadan Ligitan dengan menyatakan, kalau melihat peta-bumi Indonesia tahun 1960, maka Indonesia tidak kehilangan apa pun, karena dua pulau itu tidak masuk dalam peta-bumi Indonesia. "Saya bilang, ya Allah kok begini cara berpikirnya. Kenapa `nggak ngomong aja begini, kalau melihat peta-bumi dunia tahun 1900, Indonesia juga tidak ada, jadi `nggak usah repot-repot mikir Indonesia," katanya. "Jadi naif, kenapa tidak ksatria kepada rakyat dengan menjelaskan kita sudah memperjuangkan kedaulatan kita. Sipadan Ligitan sudah kita perjuangkan sampai ke Mahkamah Internasional di Den Haag, tetapi ternyata mereka lebih kuat bukti-buktinya ketimbang kita, dan sebagai negara hukum yang mengabdi kepada kedaulatan hukum ya saya kira itu lebih ksatria ketimbang tidak ada di peta bumi," ujarnya. Ia mengemukakan, dengan alasan seperti itu, apa yang diperjuangkan oleh presiden sebelumnya, mulai dari Soeharto, BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid, disebutnya "kasihan", karena sudah menyewa pengacara, dan mengeluarkan dana ratusan miliar untuk memperjuangkan Sipadan-Ligitan. "Lho, waktu kalah kok logikanya hanya melihat peta-bumi Indonesia tahun 1960. Jadi, sekali lagi saya bisa memahami ini, dan menjadi sangat penting, tetapi memang masih menjadi perdebatan apakah yang rinci, seperti ini masuk dalam UUD atau cukup dalam UU," katanya. Tetapi, kata dia, prinsip-prinsipnya sampai hari ini cantolan hukumnya sudah ada di UUD pasal 25 a. "Dan, berikutnya silakan dikelola saja, tetapi ini tentu saja memerlukan perjuangan yang lebih serius dan fokus lagi," katanya. Dikemukakannya bahwa karena UUD hanya mengatur bahwa perubahan itu hanya melalui satu pintu, yakni anggota MPR untuk kemudian melalui lembaga MPR, jadi tidak ada pintu referendum, kecuali kalau sudah diubah. "Tapi, sampai hari ini pintunya ya melalui anggota MPR," katanya menambahkan. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007