Shinta meratap. Permaisuri Ayodya itu menyadari jika kebebasannya lenyap saat kakinya melangkah melewati lingkaran pelindung yang dibuat sang adik ipar, Laksmana.

Istri terkasih Raja Rama itu terbujuk rayuan sosok renta yang memintanya meninggalkan lingkaran tersebut. Siapa sangka jika sosok renta itu ternyata adalah Raja Alengka, bernama Rahwana.

Hari-hari bahagianya berkelana bersama dengan sang Rama pun berganti kelam. Sang dewi harus hidup penuh ketakutan dalam cengkeraman sang raksasa, Rahwana.

Tak hanya bujuk rayu, di Taman Argasoka, penguasa tertinggi Alengka itu pun mulai menggunakan kekerasan untuk memaksa Shinta menjadi permaisurinya. Di tanah asing Sang Dewi harus membela dirinya sendiri.

Nasib tragis permaisuri Ayodya tidak berhenti di situ. Bahkan ketika Raja Rama beserta utusan tangguhnya, Hanoman, berhasil membebaskannya dari cengkeraman Rahwana dengan cara membakar seluruh kota, kehidupan Shinta masih jauh dari suka cita.

Suami tercinta yang kabarnya rela melakukan apapun juga untuk mendapatkan dirinya kembali masih harus mempertanyakan kesuciannya. Untuk membuktikan kesetiaanya kepada sang suami, Shinta memilih untuk terjun ke dalam kobaran api. Di ujung cerita Shinta memang selamat. Api tak mampu membakar tubuhnya yang suci.

Namun Shinta bukan manusia biasa. Namanya terpatri dalam kisah kuno Ramayana sebagai perempuan dengan kecantikan tiada tanding yang membuat Raja Alengka gelap mata.

Shinta adalah simbol keindahan. Keputusannya untuk masuk ke kobaran api sebagai bukti kesetiaan kepada suami pun memicu decak kagum dan tepuk tangan.

Termasuk dalam sendratari balet Ramayana yang ditampilkan di kompleks Candi Prambanan yang legendaris di Yogyakarta sejak 1960-an.

Tapi memang hanya sampai di situlah nilai seorang Shinta. Selebihnya sendratari empat babak dengan lebih dari 200 adegan itu habis-habisan menceritakan kepahlawanan Rama, Laksmana, Hanuman dan bahkan Kumbakarna.

Tak berhenti di situ, kisah Ramayana yang mulanya ditampilkan secara kolosal dengan 55 penari utama dan 865 pendukung di panggung tertutup, sejak 1990-an mulai dipindahkan ke panggung terbuka, tepat di pelataran Candi Prambanan yang terletak di kompleks Candi Seribu.

Sejak saat itu Shinta mengurai nasibnya di bawah temaram sinar bulan berlatarkan salah satu ikon kisah putri jelita yang tak kalah tragisnya.

Kompleks seribu candi yang menjadi saksi keputusasaan Roro Jonggrang, yang tak lagi punya cara lain untuk menolak pinangan Bandung Bondowoso, pembunuh sang ayah (di beberapa versi disebutkan sang kakak).

Sebagai seorang perempuan yang sudah kehilangan pelindung, Roro Jonggrang tak bisa menyuarakan penolakannya kepada Bandung Bondowoso. Syarat seribu candi dalam semalam pun terlontar. Tapi Bandung Bondowoso bukan sosok sembarangan.

Kabarnya dia memanggil seluruh mahluk halus untuk mewujudkan permintaan pujaan hati. Tetabuhan lesung untuk membangunkan ayam jantan lebih awal berhasil, namun semesta tak berkehendak sama. Mentari yang masih tertidur membuka muslihat Roro Jonggrang. Dan tragislah akhir kehidupan sang putri jelita. Dikutuk menjadi patung batu dalam kompleks Candi Prambanan dan Candi Seribu.

Tentu saja semua itu hanya kisah. Sebuah dongeng yang dituturkan turun temurun, walau Hikayat Sri Rama terpatri pada relief di Candi Prambanan, kisah Roro Jonggrang hampir tidak pernah ada jejak nyatanya. Patung yang dipercaya sebagai patung Roro Jonggrang terbukti merupakan patung Batari Durga Mahisa Suramardhani

Tetapi terlepas dari semua itu, kisah tentang Shinta dan Roro Jonggrang, dua putri jelita yang harus menanggung nestapa karena keperempuannya adalah pengingat terbaik tentang bagaimana perempuan berabad lamanya dalam beragam tradisi telah ditasbihkan menjadi warga kelas dua.

Mereka tidak punya tempat untuk menjadi pemimpin dan pembuat keputusan di berbagai sektor kehidupan.

Simone de Beauvoir (1908-1986), penulis perempuan Prancis dan perintis gelombang kedua gerakan feminis, dalam bukunya "The Second Sex" mengatakan di tengah masyarakat, laki-laki (male) sering dianggap sebagai "a human being" atau manusia seutuhnya dengan kesempatan tidak terbatas, sementara perempuan (female) selalu dianggap sebagai "other" yang keberadaannya dirujuk pada laki-laki.

Pandangan bahwa perempuan adalah warga kelas dua itulah yang coba dirontokkan oleh jutaan pegiat hak-hak perempuan di seluruh dunia, yang sebagian di antaranya berkumpul di Yogyakarta pada 12-20 September 2018, untuk mengikuti Sidang Umum ke-35 Dewan Perempuan Internasional (ICW) dan Temu Nasional Seribu Organisasi Perempuan Indonesia.

Dan kehadiran puluhan pegiat perempuan di pelataran Candi Prambanan untuk menikmati kisah Dewi Shinta pada Jumat (14/9) 2018 malam, sebagai bagian dari malam kebudayaan setelah dua hari penuh bicara tentang ketidakadilan gender menjadi bukan kebetulan.

Simbol Abadi

Sosok Shinta dan Roro Jonggrang mungkin tak membumi, namun kisah mereka sangat relevan untuk selalu menjadi simbol yang abadi tentang bagaimana masyarakat memperlakukan perempuan.

Berabad lamanya sejak pertama kali kisah tersebut dituturkan, ribuan perempuan diculik di seluruh dunia dengan alasan yang tidak jauh beda dari drama penculikan Shinta.

Salah satu kasus yang masih terus berlanjut adalah penculikan ratusan anak perempuan Chibok di Nigeria.

Kelompok militan Boko Haram membakar sekolah dan menculik ratusan anak perempuan dari asrama-asrama sekolah. Anak-anak perempuan itu diperjualbelikan, dinikahi paksa, atau dijadikan calon pelaku bom bunuh diri.

Kasus Chibok memacing kecaman dunia tetapi bahkan empat tahun berlalu sejak penculikan pertama, nasib ratusan remaja perempuan masih menjadi tanda tanya.

Presiden Dewan Nasional Perhimpunan Perempuan Nigeria (NCWS) Gloria Laraba Shoda yang ditemui di sela-sela Sidang Umum ke-35 ICW mengakui ketidakstabilan di negaranya tersebut. Konflik dan ketidakamanan pulalah yang menyebabkan beberapa perwakilan di Nigeria urung hadir di Yogyakarta.

Namun ia berharap dapat mengadopsi model yang tepat atau ide-ide baru untuk menyelesaikan permasalahan penculikan anak perempuan di negaranya dari sidang kali ini.

Ia juga mengatakan terus melakukan kampanye dan pendekatan, baik terhadap penegak hukum maupun masyarakat luas, untuk menekan tingginya angka perkosaan serta pernikahan dini di kalangan perempuan.

Namun, menurut Gloria, permasalahan ini begitu mengakar, terutama di daerah-daerah terpencil di Nigeria, sehingga sulit baginya untuk dapat menahan lonjakan angka itu.

Di Indonesia sendiri, pernikahan dini juga merupakan permasalahan yang menjadi perhatian pemerintah, terutama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Beberapa kasus pernikahan dini sempat membuat heboh publik, salah satunya adalah kasus di Tapin, Kalimantan Selatan, yang melibatkan sepasang bocah berusia 13 tahun dan 15 tahun.

Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA Prof Venetia Danes menyebut pernikahan dini disebut dapat menjadi ancaman bagi keadaan fisik dan mental anak perempuan serta menjadi salah satu penyebab utama kematian ibu dan bayi yang baru lahir.

Anak yang dilahirkan dapat menjadi cacat karena alat reproduksi calon ibu belum sempurna. Hal itu sekaligus meningkatkan risiko kematian ibu saat melahirkan. Selain itu, meskipun ibu dan bayi selamat dalam proses persalinan, kondisi psikologis ibu yang masih anak-anak belum siap untuk mendidik anak mereka sendiri menjadi orang dewasa yang berkualitas.

Alih-alih memulai sebuah keluarga dan merawat seorang anak, perempuan muda, terutama yang di bawah umur, berhak dan selayaknya mendapatkan ruang dan sumber daya yang memadai untuk mendapatkan pendidikan. Oleh karena itu, akan menjadi modal ketika ia memasuki dunia nyata saat beranjak dewasa.

Tak hanya negara dunia ketiga, di negara-negara maju, ratusan perempuan juga dikabarkan hilang setiap tahunnya. Beberapa beruntung dapat diselamatkan dari penyekapnya, lainnya entah tak berkabar.

Sebuah film pemenang Oscar tahun 2015, Room, menyorot fakta itu. Bagaimana negara semaju Amerika Serikat pun belum maksimal melindungi kaum perempuannya.

Kasus penyekapan dengan motif yang sedikit berbeda juga menjadi masalah serius di Indonesia. Beberapa kali terdengar kabar tentang penyekapan pada tenaga kerja wanita Indonesia di dalam atau di luar negeri.

Mabes Polri mengumumkan kasus kejahatan perdagangan orang yang diungkap kepolisian selama 2017, melibatkan korban sebanyak 1.078 perempuan. Para korban itu merupakan buruh migran ilegal asal Indonesia yang dijebak oleh enam jaringan yaitu Mesir, Arab Saudi, Abu Dhabi, Malaysia, China, dan Suriah.

Tak jarang, seperti Shinta, para pekerja migran ini harus berjuang seorang diri di negeri asing. Namun sayangnya mereka tak punya Raja Rama atau Hanoman yang membakar kota demi kebebasan mereka.

Pemberdayaan Perempuan

Di Yogyakarta, ratusan pegiat perempuan meyakini pemberdayaan perempuan adalah salah satu cara menghentikan ketidakadilan pada kaum perempuan.

Perwakilan ICW untuk PBB Dr Mohinder Watson mengatakan meningkatkan kesadaran masyarakat yang dimulai dari keluarga menjadi hal pertama yang perlu dilakukan.

Dia meminta perempuan tidak memberikan toleransi kepada kekerasan berbasis gender yang terjadi kepada masing-masing atau pun orang lain.

"Perlindungan terbaik bagi wanita adalah komitmen kita untuk melawan ketidakadilan gender. Saya pun berharap lebih banyak pria yang ikut seminar maupun pertemuan seperti ini agar mereka mengerti," ujar Watson.

Sementara itu Ketua LSM Komisi Vienna sekaligus anggota NCW USA Dr Sorosh Roshan mengatakan seorang ibu harus mengajarkan kepada putri-putrinya mengenai hak-hak pribadi yang dimiliki oleh mereka untuk menghindari kekerasan.

Menurut Sorosh, perempuan harus menyadari bahwa tubuh mereka memiliki hak yang tidak terpisahkan.

"Untuk itu terkait kebijakan, politisi harus memahami hal ini. Perempuan juga perlu diajarkan berpolitik dan kita harus memilih politisi yang menghargai peran wanita dan perlindungan bagi perempuan dan anak-anak," ujar Sorosh.

Malam itu ada wajah-wajah yang terpesona di pelataran Candi Prambanan. Mereka yang mungkin baru pertama kali   menyaksikan gemerlapnya warna-warni pakaian para penari. Baru sekali mendengarkan alunan musik gamelan yang menghipnotis atau gemulai tarian masing-masing tokoh.

Satu per satu duta kaum perempuan yang tak puas berdiam diri di kursinya itu bahkan bergerak ke bibir panggung untuk mengabadikan setiap adegan termasuk adegan terbakarnya Kota Alengka yang sangat menabjubkan. Pedar kobaran api berlatar keagungan candi memang menghasilkan gambar yang memukau.

"Saya begitu tertarik dengan pakaian mereka (para penari), saya baru pertama kali melihat model pakaian untuk menari seperti itu," tutur Maria, salah seorang delegasi dari Guatemala saat ditemui usai pertunjukan.

Tapi di luar seluruh decak kagum dan hambatan bahasa yang mungkin menyebabkan tidak semua delegasi mampu memahami dengan baik kisah tragis Dewi Shinta dan Roro Jonggrang, di Prambanan malam itu, para tokoh perempuan ini dingatkan kembali pada marwahnya. Memperjuangkan kaumnya.

Berteman wedang ronde dan kue putu khas Yogyakarta. Berlatar angkuhnya kompleks candi Hindu terbesar di Jawa. Cukuplah Dewi Shinta dan Roro Jonggrang.

(T.G003/Kr.ARC/KR.GNT/B019

Pewarta: Gusti Nur Cahya Aryani
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2018