Oleh Desy Saputra Jakarta (ANTARA News) - Alunan orkestra gamelan klasik tradisional Jawa mengalun perlahan mengiringi tujuh penari memasuki panggung Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (21/8) malam. Dalam balutan kostum lengkap, enam pria penari itu membawakan opera jawa bertajuk "Tanding Gendhing" yang mengambil cuplikan dari kisah pewayangan epik Mahabharata. Tujuh penari itu masing-masing melakonkan tokoh Sengkuni, Kresna, Duryudana, Bima, Karna, Bisma, dan Arjuna. Dua perempuan penari kemudian melebur dalam tarian, mereka adalah Gendari dan Kunthi. Pertunjukan ini dibuka penampilan empat penari "Srimpi Tameng Gito" selama kurang lebih satu jam dengan iringan gamelan jawa arahan B Subono. Rangkaian pertunjukan itu merupakan upaya perancang busana Iwan Tirta melakukan retrospeksi untuk menjalin kembali batik dan tari yang sesungguhnya memiliki hubungan erat namun mulai luntur dan dilupakan. Sebelumnya, acara yang bertajuk Retrospeksi Iwan Tirta "Tanding Gendhing" ini telah dipentaskan di Solo, Surabaya, Surabaya. Hingga September mendatang, Iwan bersama rombongan para penari akan meneruskan ke Cirebon dan Pekalongan. "Saya ingin meletakkan kembali posisi batik ke dalam konteks kebudayaannya. Lewat pagelaran ini saya ingin kita semua kembali ke sebuah situasi dimana batik menjadi jati diri sebuah kebudayaan," ujar pria bernama lengkap Nusjirwan Tirtaamidjaja. Ia mengungkapkan dalam kesenian Jawa hubungan antara seni tari dna seni batik tidak bisa lepas satu dengan lain. Batik tidak semata-mata menjadi kostum yang memperindah sebuah koreografi dan begitu saja membalut tubuh sang penari. "Lebih dari itu, batik turut menjadi `nyawa` dalam setiap bentuk tari," ujar pria yang pada 2007 berusia 72 tahun itu. Iwan melanjutkan, batik juga menjadi representasi karakter setiap penari dan akan tampak jelas melalui corak batik yang ada di tubuh setiap karakter. Dalam karakter Bima atau Werkudara contohnya, busana yang dikenakan adalah busana kampuhan dengan batik motif bintulu atau poleng naga. Ditambah pelengkap busana seperti panjen hitam, kepuh, slepe ceplok, sampur kuning gombyok atau kendalagiren. "Busana itu sesuai dengan sifat-sifat Bima yang jujur, gagah berani, teguh, kuat, tabah, dan patuh," katanya. Sementara itu, Arjuna yang digambarkan bertubuh ramping, berparas rupawan, dan memiliki sifat kesatria mengenakan jenis tata busana kesatrian dan batik motif sida mukti pradan atau gagak seta. Seperti halnya Bima, Arjuna juga memiliki seperangkat asesoris khusus, terdiri dari penjen hitam, sabuk kuning, pending, slepe, sampur kuning gombyok atau kendalagiren. Ia juga mengenakan asesoris kepala separti destar rintik, bros, dan giwang di telinga, serta gelang di tangan dan lengannya. Keris Ladrang Kasatrian Kadipaten Sepuh tak lupa disematkan di bagian belakang pinggangnya. Dalam gerak yang perlahan namun bersahaja para penari itu membawakan cerita tentang perjalan hidup wangsa Bharata yang sejak awal Negara Astina berdiri telah dihantui kehausan akan kekuasaan yang selalu menjadi bencana. Demikian juga yang terjadi di generasi berikutnya, Pandawa dan Kurawa. Keluarga Pandawa dan keluarga Kurawa adalah sepupu dari kakak-beradik sedarah, Maharaja Pandu Dewanata dan Adipati Destarasta. Sejak awal mereka bergaul, keluarga Pandawa dan Kurawa tidak pernah ada dalam hubungan yang sepaham. Meski hidup berdampingan, permusuhan selalu ada di antara mereka. Sejak masa belia, perebutan tahta Astinapura selalu mewarnai hubungan itu. Sutradara sekaligus penulis naskah "Tanding Gendhing", Wasi Bantolo mengangkat kisah tersebut dengan mengemasnya dalam tari, akting, dan vokal yang sekaligus menjadi peragaan adibusana batik klasik. Wasi piawai mempelajari masing-masing karakterisasi wayang tersebut untuk kemudian diterjemahkan kembali dalam tata busana yang meliputi batik, perhiasan, dan keris. Khusus untuk pendalaman dan perpaduan unsur-unsur tersebut, Wasi dibantu pakar busana yang kini telah berusia lanjut, Ibu Maktal Dirdjodiningrat (87) dan pakar keris Haryono Guritno (74). Perang keluarga yang tak dapat dihindarkan tersaji indah melalui gerakan penari yang lembut sekaligus anggun. Batik klasik yang membalut tubuh mereka menambah ekspresi keagungan dari karya pendahulu negeri ini. Pun ketika mereka memulai adegan perang yang sangat dinamis menggunakan keris, tampak perpaduan kelembutan sekaligus sifat kesatria sesama anggota keluarga ini. Menurut Iwan, keris menjadi salah satu bagian penting dari peragaan adibusana itu karena merupakan bagian tak terpisahkan dari sang empunya (para penari). Keris-keris dipinjam secara khusus dari Museum Pusaka Taman Mini Indonesia Indah. Secara keseluruhan acara tersebut terlihat menyedot perhatian penonton dari berbagai daerah. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007