Jakarta (ANTARA News) - Keluarga korban pembunuhan pensiunan TNI Angkatan Laut keberatan atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memvonis terdakwa 12 tahun penjara karena telah melanggar pasal pencurian disertai kekerasan.

"Kami jelas keberatan dan kecewa terhadap vonis hakim. Keluarga berharap, jaksa dapat mengajukan banding, karena pasal yang digunakan dalam putusan seharusnya bukan pencurian, tetapi pembunuhan," kata Tisa (49), anak pensiunan TNI AL, Hunaedi (83) yang tewas ditikam oleh terdakwa Supriyanto (20) pada pertengahan April lalu.

Ia mengatakan, saat ayahnya tewas ditikam, tidak ada uang yang diambil dari rumahnya.

"Saya kaget waktu mendengar keterangan ada uang Rp200 ribu diambil. Keterangan itu sudah ditolak oleh saksi mahkota, ibu saya, saat kejadian dia ada menyaksikan," kata Tisa di Jakarta, Kamis.

Tisa menyampaikan, hasil dari rekonstruksi perkara menunjukkan bahwa pelaku telah berencana membunuh Hunaedi.

"Dari awal pelaku memasuki rumah, sudah memegang pisau. Adegan pertama rekonstruksi jelas, ia membuka gerbang," katanya. 

Adegan kedua pelaku memanjat pagar dan melihat situasi dari jendela, kemudian mengacungkan pisau. Adegan selanjutnya pelaku mengetuk pintu rumah dengan gagang pisau.

Saat korban membuka pintu, adegan rekonstruksinya, pelaku menikam korban. "Tidak ada barang yang diambil, terlepas motifnya mencuri," kata Tisa.

Tisa menyatakan, pasal yang harus dikenakan ke terdakwa bukan Pasal 365 ayat (2) KUHP tentang pencurian disertai kekerasan, tetapi pembunuhan berencana, yaitu Pasal 340 KUHP.

Ia menambahkan, keterangan pelaku yang menyatakan bahwa mengambil uang Rp200 ribu dari atas meja pada saat kejadian sudah dibantah oleh saksi mahkota.

"Saat kejadian, ada ibu, waktu pelaku masuk rumah dia panik dan ke luar berteriak minta tolong. Pelaku panik, dia tidak mengambil apa-apa," katanya.

Selepas kejadian, petugas Kanit Reskrim dari Polsek Cilandak juga meminta kesaksian Tisa untuk memastikan bahwa tidak ada barang yang hilang.

Anak bungsu Hunaedi itu menjelaskan, pernyataan bahwa ada uang di atas meja itu mengada-ada.

Selain (keterangannya) sudah ditolak oleh saksi mahkota, dalam hal ini ibu (Sopia), korban adalah orang yang teliti. Tidak mungkin menyimpan uang di atas meja ruang depan begitu saja, kecuali recehan, lain ceritanya.

"Korban hanya pensiunan peltu (pembantu letnan satu), uang pensiunannya tidak seberapa," uajr Tisa.

Satu hari sebelum ayahnya terbunuh, pelaku memang datang ke rumah dan mengambil uang pensiunan sebesar Rp3,2 juta.

Namun, korban beserta keluarga memilih tidak melapor ke polisi.

"Dia (pelaku) memang datang mengambil uang, tetapi sudahlah yang penting ayah selamat. Tetapi kami tidak menyangka dia datang lagi esoknya," kata Tisa.

Tisa berharap jaksa dapat mengajukan banding terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memvonis pelaku 12 tahun penjara.

"Kasus pencurian dan pembunuhan itu berbeda. Ayah saya tewas dan tidak ada barang yang hilang," katanya.

Majelis Hakim PN Jakarta Selatan membacakan vonis terhadap Supriyanto pada Selasa (25/9). Di samping vonis 12 tahun penjara, terdakwa turut dibebani biaya perkara sebesar Rp2.000.

“Majelis hakim tidak sepakat penuntut umum meminta vonis pidana penjara 15 tahun, karena terlalu berat. Majelis hakim akan memberi pidana yang patut,” kata Hakim Katim Haeruddin sebelum membaca amar putusan di PN Jakarta Selatan.

Selepas pembacaan putusan, pelaku (Supriyanto) mengatakan dirinya menerima vonis hakim, sementara jaksa menyatakan akan “pikir-pikir dulu”.

Supriyanto menikam Hunaedi hingga tewas di rumahnya di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, pada pertengahan April lalu.

Baca juga: Pembunuh pensiunan TNI AL dihukum 12 tahun penjara
Baca juga: Polisi gelar rekonstruksi pembunuhan pensiunan TNI AL Cilandak
Baca juga: Polisi tangkap pembunuh pensiunan TNI AL

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2018