Tokyo (ANTARA News) - Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Hatta Rajasa menegaskan Indonesia sangat menghargai peranan mantan PM Jepang, Kiichi Miyazawa, yang tetap berdiri disamping RI untuk melewati masa-masa sukar ketika krisis keuangan tengah melanda Asia Tenggara sekitar 1997-98. "Indonesia akan selalu mengingat jasa Kiichi Miyazawa, karena melalui `Miyazawa Initiative` Jepang tetap memberikan bantuannya, bahkan memberikan kelonggaran dalam pembayaran utang Indonesia," kata Mensesneg dalam perbincangannya dengan ANTARA di Hotel Imperial Tokyo, Rabu. Hatta Rajasa berada di Tokyo sebagai utusan khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menghadiri upacara pemakaman Kiichi Miyazawa yang diselengarakan oleh pemerintah bersama partai LDP (Liberal Democratic Party). Upacara kenegaran bagi tokoh Jepang yang meninggal di usia 87 tahun itu berlangsung di Nippon Budokan Hall, bangunan yang merupakan simbol bagi tradisi Negeri Sakura pada Selasa (28/8) lalu. Didampingi oleh Dubes RI untuk Jepang, Jusuf Anwar, Mensesneg mengemukakan saat itu Miyazawa yang menjadi Menteri Keuangan meyakinkan pemerintah Indonesia bahwa Jepang tidak akan tinggal diam menyaksikan krisis keuangan yang menerjang Indonesia. "Apalagi Indonesia juga sedang mengalami masa reformasi, sehingga berat betul beban yang sedang ditanggung bangsa dan negara kita, tetapi Jepang memilih tetap berada di samping Indonesia," kata mantan Menteri Perhubungan itu. Ketika itu persoalan ekonomi bercampur baur dengan konflik politik yang datang silih berganti, mulai dari era pemerintahan Soeharto ke Habibie, kemudian berlanjut hingga era Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Miyazawa menjabat sebagai Menteri Keuangan Jepang dari 1998 hingga 2002, saat Indonesia dan negara-negara ASEAN berjuang melewati masa-masa sulit krisis keuangan. Jepang lalu menawarkan paket bantuan keuangan senilai 2,4 miliar dolar AS yang disebut "Miyazawa Initiative" guna membantu negara-negara mitranya itu tidak jatuh terlalu dalam terhadap krisis financial tersebut. Dalam pertemuannya dengan Gus Dur, ia menawarkan program pemulihan yang terpisah dari paket IMF dan Bank Dunia dan membantu mempercepat reformasi ekonomi. Sekalipun Gus Dur tidak mengutarakan permintaan khusus, semisal penjadwalan kembali pinjaman Indonesia yang mencapai 70 milyar dolar AS, namun Miyazawa memahami kondisi Indonesia dan memberikan memperpanjangan waktu bagi pelunasan utang. Miyazawa bahkan menyediakan pinjaman baru dan bersedia mengirimkan satu misi yang menolong pemerintah dalam menjalankan reformasi ekonominya. Miyazawa sendiri menjabat Perdana Menteri Jepang pada 1991 hingga Agustus 1993. Ia menjadi tokoh bersejarah karena satu-satunya mantan PM yang bersedia kembali menjadi menteri, terlebih saat Asia diterjang krisis keuangan yang parah. (*)

Copyright © ANTARA 2007